Uzlah Sufi, Social Distancing Atasi Virus Maknawi

Uzlah Sufi atau menjauhi pergaulan kecuali hanya pada hal yang sangat penting bukan sebatas tradisi kaum Sufi, kelompok yang memfokuskan dirinya pada kebersihan batin, tapi ini adalah bagian dari doktrin dan disiplin mereka. Imam Al-Qusyairi sendiri mendoktrin, “Tidak boleh tidak, seorang murid mesti uzlah di permulaan perjalanannya, dari teman-temannya”.

Oleh: Khairullah Zain *)

IMG 20200822 WA0044 1 150x150 - Uzlah Sufi, Social Distancing Atasi Virus MaknawiMewabahnya Virus Corona Disaese 2019 (Covid-19) membuat pemerintah provinsi Kalimantan Selatan menetapkan status Tanggap Darurat Covid 19. Sekolah dan kampus diminta agar diliburkan. Kuliah dan pembelajaran hanya boleh dilanjutkan secara online.

Virus yang mulanya mewabah di Wuhan, Tiongkok ini menular utamanya via percikan pernafasan dan kontak langsung. Penularan melalui percikan pernafasan terbentuk akibat batuk, bersin, dan bicara. Demikian dijelaskan dalam The Coronavirus Prevention Handbook.

Sebab itu, guna mencegah penularan meluas, semua orang diminta untuk melakukan social distance, atau menghindari hadir di pertemuan besar atau kerumunan orang. Bila terpaksa harus bertemu, maka menjaga jarak  sekitar dua meter. Adapun bagi yang berisiko terpapar virus, harus mengarantina dirinya di rumah masing-masing selama masa 14 hari. Sementara, yang positif telah terpapar, harus menjalani isolasi, yaitu perawatan kesehatan dengan peralatan dan penanganan khusus. 

Langkah antisipasi virus Covid-19 ini, menurut saya mirip dengan tradisi sufi dalam upaya mengobati diri dari penyakit maknawi, yaitu sifat-sifat buruk yang bersarang dalam jiwa manusia. Penyakit yang diakibatkan oleh virus maknawi. 

Berbeda dengan Covid-19 atau virus lainnya yang ditetapkan berdasarkan penelitian inderawi (tentunya dengan bantuan alat tertentu), virus maknawi ditetapkan berdasarkan pandangan batin. Kendati demikian, dalam penanganannya ada kemiripan. Bila dalam menangani penyebaran virus Covid-19 kita mengenal istilah Social Distance, Karantina, dan Isolasi, maka dalam menangani penyebaran dan melakukan pengobatan virus maknawi kita dikenalkan dengan istilah Uzlah dan Khalwat.

Diceritakan Imam Abu Al-Qosim Al-Qusyairi (W. 465 H) dalam magnum opusnya, Ar-Risalah, kitab tertua yang membahas tentang doktrin dan istilah-istilah dalam dunia Sufi, Suatu kali, seseorang bertamu kepada Syekh Abu Bakr al-Warraq (W.240 H), meminta nasehat. Sufi agung itupun memberikan nasehat singkat, “Aku menemukan kebaikan dunia dan akhirat pada menyendiri dan sedikit keperluan. Aku menemukan keburukan dunia dan akhirat pada banyak keperluan dan pergaulan”. 

Uzlah ala Sufi atau menjauhi pergaulan kecuali hanya pada hal yang sangat penting bukan sebatas tradisi kaum Sufi, kelompok yang memfokuskan dirinya pada kebersihan batin, tapi ini adalah bagian dari doktrin dan disiplin mereka. Imam Al-Qusyairi sendiri mendoktrin, “Tidak boleh tidak, seorang murid mesti uzlah di permulaan perjalanannya, dari teman-temannya”.

Dari satu sisi, uzlah ala Sufi adalah latihan pra khalwat, menyendiri di kesunyian, melatih fokus pada Tuhan.  Uzlah ala Sufi adalah melatih diri agar tidak merasa nyaman dengan manusia, sehingga terhijab dari penciptanya. Karena, menurut Syekh Abu Ali Ad-Daqqaq (W. 405 H), beliau mendengar Syekh Asy-Syibli (W. 334 H) pernah berkata, “Diantara tanda kerugian, merasa nyaman dengan kehadiran manusia”.

Dalam doktrin sufi, seseorang yang memiliki sifat buruk dalam hatinya, akan menularkan sifatnya tersebut kepada orang yang bergaul dengannya. Bahkan, sifat buruk bisa muncul dengan sendirinya akibat pergaulan dengan orang-orang yang kelas tertentu. Imam Al-Ghazali (W. 505 H) misalnya, dalam Tanbih Al-Ghafilin mengatakan, bahwa siapa yang duduk bersama orang kaya, akan bertambah rasa cinta dan kegemarannya terhadap dunia. Siapa yang duduk bersama para pejabat pemerintahan, akan bertambah rasa sombong dan keras hatinya”.

Masalahnya tentu bukan pada orang kaya ataupun pejabat tersebut. Tapi ada pada diri orang yang membersamai mereka. Karena mentalnya belum kuat, batinnya belum punya daya imun. Sehingga, ketika bersama orang kaya dan melihat fasilitas hidupnya, hatinya membayangkan betapa enaknya banyak berharta, akibatnya sifat cinta dunia tumbuh dan membuatnya gemar terhadapnya. Pun demikian dengan duduk bersama pejabat pemerintahan. Batinnya yang tidak siap akan merasa dirinya hebat, sehingga menumbuhkan rasa sombong dalam hatinya, punya teman dan kenalan orang-orang berpangkat. Hatinya menjadi keras, sulit menerima nasehat, karena merasa sudah hebat.

Dari sisi lain, uzlah ala Sufi adalah untuk menjaga diri dari mencelakai orang lain. Uzlah Sufi adalah ekspresi pengakuan bahwa diri seorang murid memiliki penyakit yang barangkali menular bila bertemu orang lain. Imam Al-Qusyairi mengatakan, “Diantara hak seorang hamba bila memilih uzlah, bahwa meyakini dengan uzlahnya, manusia lain selamat dari keburukannya. Bukan sebaliknya, memaksudkan agar dirinya selamat dari keburukan orang lain”.

Ibn Mas’ud misalnya, sebagaimana dikutip Syekh Nawawi Al-Bantani (W. 1316 H) dalam Nashaih al-Ibad, mengatakan bahwa berteman dengan orang zalim termasuk salah satu penyebab gelapnya hati.

“Empat yang termasuk penyebab gelapnya hati, yaitu: perut yang terlalu kenyang, berteman dengan orang zalim, tidak peduli dosa yang pernah dilakukan, dan panjang angan-angan”.

Pertanyaannya, siapa yang menjamin bahwa diri kita tidak termasuk orang zalim, yang bila berteman dengan orang lain akan menyebabkan hati orang menjadi gelap?  Siapa yang menjamin diri kita bebas virus, yang bila berteman orang lain akan membuatnya tertular virus kita?

Saya kira, hari ini kita menemukan momentum. Mari ber-uzlah atau melakukan sosial distancing, demi menyelamatkan orang lain dari keburukan kita, baik berupa virus maknawi ataupun virus inderawi,  dan juga sebagai upaya mengikis hijab ketergantungan pada makhluk yang barangkali masih bersarang dalam batin kita. Uzlah yang bukan sekedar menjauhi pergaulan, tapi juga upaya mendekat kepada Tuhan.

Sejenak, mari kita renungkan nasehat Ibn Athaillah (W. 709 H) dalam Hikamnya, “Manakala Dia membuatmu gelisah dari berbaur dengan makhluknya, maka yakinilah bahwa Dia sedang hendak membukakan pintu ketenangan untukmu bersamaNya”. Juga nasehat yang berulang-ulang disampaikan Abah Guru Sekumpul, “Jangan sering keluar rumah kecuali penting”.

Menurut Sampeyan?

Baca Juga : Kisah Sufi Dari Sekumpul, KehendakNya Itulah Yang Aku Kehendaki.

*) Penulis adalah peserta Konferensi Ulama Sufi Internasional 2019, Pekalongan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *