Kisah Sufi Dari Sekumpul, KehendakNya Itulah Yang Aku Kehendaki
Sejatinya, bila kita rajin membaca sejarah hidup para ulama sufi, kisah sufi dari Sekumpul dan yang semacam ini bukanlah sesuatu yang asing.
Oleh : Khairullah Zain *)
Sering kita mendengar cerita miskinnya kehidupan orangtua Abah Guru Sekumpul. Bahkan dikisahkan oleh Abah Guru Sekumpul sendiri, mereka hanya makan satu kali sehari, itupun sepiring/sebungkus nasi dibagi orang empat, ayah, ibu, Abah Guru Sekumpul dan adiknya.
Namun, jarang kita mendengar bahwa dibalik kemiskinan itu, ada rahasia yang disembunyikan. Rahasia penghambaan seorang manusia sufi, yang sulit kita temukan pada manusia lain, terutama di zaman ini.
Suatu kali, melihat kehidupan Abdul Ghani yang miskin, Tuan Guru Samman Mulia berkata kepada saudara iparnya tersebut, “Andai kanda meminta harta kepada Allah, orang seperti kanda akan dikabulkan do’anya”.
Iya, Tuan Guru Samman Mulia berasumsi demikian karena menyaksikan sendiri suami Masliyah, adik perempuannya, adalah seorang pria yang saleh. Taat beragama dan wara.
Namun, apa jawab Abdul Ghani?
“Aku malu kepada Allah. Apa lagi yang aku minta. Apa yang diberikanNya sudah lebih dari cukup”.
Jawaban yang membungkam Tuan Guru Samman Mulia. Jawaban seorang yang telah mendidik dirinya untuk menerima dan bersyukur atas apa yang ditakdirkan Tuhannya. Jangankan mengeluhkan nasibnya, meminta saja tidak dilakukannya.
Kisah Sufi dari Sekumpul yang diceritakan oleh seorang murid Tuan Guru Samman Mulia yang sudah almarhum ini mengingatkan saya pada kisah sufi masa silam, seorang wanita yang namanya melegenda, Rabi’ah Al-‘Adawiyah.
Baca Juga : Abah Guru Sekumpul dan Gagal Nalar Pengasong Khilafah
Suatu kali Malik bin Dinar, seorang sufi, mengunjungi Rabi’ah. Disaksikannya Rabi’ah hanya memiliki sebuah gayung pecah yang digunakannya untuk minum dan bersuci. Selembar tikar sebagai alas. Sebiji bata yang kadang digunakan sebagai bantal.
Menyaksikan ini, iba muncul di hati Malik bin Dinar. Ia pun memberanikan diri berkata, “Aku punya teman-teman yang kaya. Bila kau menginginkan sesuatu, aku bisa memintakan kepada mereka”.
Namun, rupanya Malik bin Dinar salah alamat. Usulannya ini berbuah teguran keras.
“Malik, kau telah melakukan kesalahan besar. Bukankah yang menafkahi aku dan yang menafkahi mereka sama?”.
Kaget, Malik bin Dinar sadar dengan siapa ia berhadapan.
“Iya”.
“Apakah Dia yang menafkahi orang-orang miskin itu melupakan mereka, karena kemiskinannya?”.
Malik diam.
“Apakah Dia mengingat orang-orang kaya karena kekayaannya?”.
Malik menjawab, “Tidak”.
“Karena Dia Maha Mengetahui keadaanku, apa perlunya aku mengingatkanNya?”.
“Beginilah yang dikehendakiNya. Dan aku menghendaki seperti yang dikehendakiNya.”
Jawaban yang membuat Malik bin Dinar bungkam.
Sejatinya, bila kita rajin membaca sejarah hidup para ulama sufi, kisah-kisah semacam ini bukanlah sesuatu yang asing. Mereka adalah orang-orang yang telah menyerahkan kehendaknya kepada yang Maha Berkehendak. Sehingga tidak ada kehendak yang tersisa. Kecuali sesuai kehendakNya.
Bahkan, seandainya diantara mereka ada yang rajin melantukan do’a dan munajat, itu bukan karena adanya kehendak agar berubah dari yang dikehendaki Tuhannya. Namun semata ‘ubudiyah, menjalani etika kehambaan. Umumnya ini dilakukan oleh para sufi yang masyhur dan menjadi ikutan orang-orang awam. Sehingga tidak terlihat aneh dan membingungkan.
Mereka berdo’a bukan menuntut dikabulkan kehendak, karena mereka sudah tidak lagi menyisakan kehendak.
Bila terhadap Yang Maha Kuasa saja mereka seperti itu, apatah lagi terhadap sesama makhlukNya.
Terkait hal ini, Syekh Ibn ‘Athaillah as-Sakandari memberikan nasehat, “Jangan sampai permintaanmu kepadaNya karena menuntut pemberian. Karena yang demikian pertanda sedikit pemahamanmu tentangNya. Hendaknya permintaanmu semata menampakkan kehambaanmu, dan menegakkan hakNya sebagai Tuhan”.
Iya. Itulah etika para sufi. KehendakNya, itulah yang aku kehendaki.
Baca Juga : Uzlah; Social Distancing ala Sufi Atasi Virus Maknawi
*) Penulis adalah pengagum ulama sufi. Hadir sebagai peserta dalam Konferensi Ulama Sufi Internasional 2019, Pekalongan.