Menanti ‘Urang Banua’ Menakhodai PB PMII (Refleksi 60 Tahun Perjalanan PMII)
Sepanjang perjalanannya, sejak awal berdiri hingga saat ini, PB PMII tidak pernah mencatat urang banua sebagai nakhodanya. Padahal, bila kita baca sejarah berdirinya, organisasi mahasiswa Nahdliyyin ini turut didirikan oleh ‘urang banua’.
Oleh : Khairullah Zain *)
Hari ini, 60 tahun silam, tepatnya 17 April 1960 Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (selanjutnya ditulis PMII) dideklarasikan secara resmi. Bertepatan 17 Syawwal 1379 Hijriah.
Pisahnya NU dari Masyumi, carut marutnya situasi politik, tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada ketika itu, diantara faktor penyebab lahirnya organisasi pergerakan bernama PMII.
Bermula dari kegelisahan di kalangan intelektual muda NU untuk menjawab tantangan zaman, di mana dibutuhkan adanya suatu organisasi yang mewadahi untuk menyalurkan aspirasi dan pengembangan potensi, PMII pun hadir sebagai sebuah ikhtiar.
Harus diakui, PMII lahir dari induk bernama Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan peran IPNU. Karena sebelumnya, beberapa organisasi mahasiswa di kalangan Nahdliyyin, seperti Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) dan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) tidak mendapat “restu” IPNU. Konferensi Besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang yang berlangsung dari tanggal 14-17 Maret 1960 menutuskan agar mendirikan organisasi sendiri untuk mahasiswa NU. Akhirnya, ditunjuklah 13 orang tokoh mahasiswa NU sebagai tim perumus. Mereka adalah : A Khalid Mawardi, M Said Budairy, M Sobich Ubaid, Makmun Syukri, Hilman Badrruddinsyah, Ismail Makki, Munsif Nakhrowi, Nuril Huda Suaidi, Laily Mansur, Abd Wahhab Jaelani, Hizbulloh Huda, M Kholid Narbuko, dan Ahmad Hussein.
Perjalanan PB PMII
Tiga belas orang tokoh mahasiswa NUt mengadakan musyawarah yang akhirnya memutuskan untuk mendirikan sebuah organisasi bernama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, menyusun Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga, serta memilih dan menetapkan ketua umum pertama, Mahbub Djunaidi. Tokoh kelahiran Jakarta yang seorang penulis ulung ini menakhodai PMII selama tiga periode, yaitu 1960-1961, 1961-1963, dan 1963-1967.
Selanjutnya, PMII dipimpin oleh Muhammad Zamroni. Pria kelahiran Kudus/Jepara ini memimpin PMII dua periode, yaitu 1967-1970, dan 1970-1973.
Pasca sahabat Zamroni, PMII dinakhodai Abduh Paddare. Pria asal Kampung Rambang Makassar ini memimpin PMII periode 1973-1977.
Selanjutnya, PMII dipimpin seorang yang kelak menjadi Sekjen PBNU, Ahmad Bagja. Pria kelahiran Kuningan Jawa Barat yang kelak menjadi tokoh sentral kelompok Cipayung ini menakhodai PMII periode 1977-1981.
Selepas Ahmad Bagja, PMII dinakhodai cucu Raja Flores, Muhyiddin Arubusman. Pria kelahiran Ende Flores Nusa Tenggara Timur yang juga pernah menjabat Ketua DPP KNPI selama dua periode ini memimpin PMII periode 1981-1984.
Bersaing dengan Iqbal Assegaf, Suryadharma Ali akhirnya terpilih untuk melanjutkan kepemimpinan PMII pasca Ahmad Bagja. Pria kelahiran Jakarta yang kelak memimpin Partai Persatuan Pembangunan periode 2007-2011 dan pernah menjadi Menteri Agama Republik Indonesia ini menakhodai PMII pada periode 1985-1988.
Perjalanan selanjutnya, PMII dipimpin oleh seorang sayyid dari klan Assegaf, Muhammad Iqbal Assegaf. Pria kelahiran Labuna Maluku ini memimpin PMII periode 1988-1991. Di masa kepemimpinannya lah PMII menolak saran beberapa kyai NU yang menginginkan PMII “Dependen dengan NU”dengan mengeluarkan keputusan “Penegasan Cibogo”. Ia menegaskan indenpendensi PMII dengan statemennya “PMII dengan rendah hati siap menerima pendapat, gagasan, dan saran, bahkan kritik dari siapapun. Tetapi keputusan tetap di tangan PMII”.
Pasca Iqbal Assegaf, PMII dipimpin Ali Masykur Musa. Pria kelahiran Tulungagung Jawa Timur yang kelak menjadi Ketua DPP PKB periode 1999-2004 ini memimpin PMII pada periode 1991-1994.
Kemudian, kepemimpinan PMII dilanjut oleh Muhaimin Iskandar. Pria kelahiran Jombang Jawa Timur yang kita kenal dengan panggilan Cak Imin ini memimpin PMII periode 1994-1997.
Periode 1997-2000, PMII dipimpin Syaiful Bahri Anshori. Pria kelahiran Jember Jawa Timur ini berhasil memenangkan pemilihan ketua pada kongres yang diwarnai suasana anarki. Aksi baku hantam dan lempar kursi.
Periode selanjutnya, yaitu 2000-2003, PMII dipimpin Nusron Wahid, tokoh kelahiran Jepara Jawa Tengah yang kelak memimpin GP Ansor periode 2011-2016.
Selanjutnya, PMII dinakhodai A Malik Haramain. Pada masa kepemimpinan pria kelahiran Probolinggo Jawa Timur inilah PB PMII akhirnya mempunyai kantor dan secretariat sendiri secara permanen. Yaitu periode 2003-2005.
Pasca Malik Haramain, periode 2005-2008 PMII dipimpin Herry Azumi, pria kelahiran Trenggalek. Periode 2008-2011 dipimpin Muhammad Rodli, pria kelahiran Manado. Periode 2011-2014 dipimpin Addin Jauharuddin, pria kelahiran Cirebon. Periode 2014-sekarang, PMII dipimpin Aminuddin Ma’ruf, pria kelahiran Karawang.

Menanti Tampilnya Urang Banua
Sepanjang perjalanannya, sejak awal berdiri hingga saat ini, PB PMII tidak pernah mencatat urang banua sebagai nakhodanya. Padahal, bila kita baca sejarah berdirinya, organisasi mahasiswa Nahdliyyin ini turut didirikan oleh urang banua.
Dari tiga belas orang perumus dan pendiri PMII, tercatat nama Laily Mansur. Ia adalah pria kelahiran Desa Pematang Benteng, Alabio Kalimantan Selatan. Pria yang kelak dikenal dengan panggilan KH M Laily Mansur ini turut serta mendirikan PMII ketika masih menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi Islam Surakarta (PTINU) yang kini manjadi UNU Surakarta. Karenanya, orang lebih mengenal Laily Mansur sebagai pendiri PMII dari Surakarta, bukan Kalimantan Selatan. Padahal, beliau asli urang banua dan kelak berkiprah di banua.
Absennya urang banua dalam daftar nakhoda PB PMII menyisa tanya di benak kita, apa tidak ada urang banua yang mampu memimpin di level Pengurus Besar? Ataukah ada yang mampu namun tidak ada yang mendukungnya sehingga tidak berhasil memenangkan kompetisi? Namun, siapa yang mampu menjawabnya.
Saya kira, urang banua harus berani tampil berkompetisi, menggapai kursi Ketua Umum PB PMII. Urang banua perlu menunjukkan kemampuannya sebagai pemimpin yang berprestasi dan menyejarah. Kecuali itu, urang banua juga harus memberikan dukungan bila ada yang memenuhi syarat untuk maju dalam kompetisi. Karena kalau tidak, semuanya hanya angan belaka.
Akhirul Kalam, saya ucapkan Selamat Harlah ke-60 Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Semoga selalu menjadi wadah terbaik bagi para mahasiswa Nahdliyyin berkiprah dan menunjukkan eksistensinya, serta menyalurkan aspirasinya.
Salam Pergerakan…!
*) Penulis adalah Wakil Ketua PCNU Kabupaten Banjar.