Tanggungjawab Ulama Terhadap Kelas Pekerja

Para ulama, sebagai seorang yang memiliki “social power” di mata masyarakat bisa memanfaatkan posisi strategisnya untuk berpihak terhadap kaum buruh. Sudah lazim seorang ulama terkenal bisanya didekati oleh kaum pengusaha dan pemilik modal. Apapun niatnya, mereka mau mendekat ulama itu sudah hal yang luar biasa. Tapi bagi si ulama, ada tanggungjawab besar dalam hal ini.

Oleh : Khairullah Zain *)

FB IMG 1587106990298 300x300 - Tanggungjawab Ulama Terhadap Kelas PekerjaMenurut Karl Marx, ada tiga kelas dalam kehidupan sosial manusia; kaum buruh, pemilik modal, dan tuan tanah. Pada perkembangannya, dalam sistem kapitalis, tuan tanah masuk dalam kategori pemilik modal/kapital. Sehingga hanya ada dua kelas, pekerja yang disebut proletariat dan pemilik yang disebut borjuis. Adanya kelas ini menciptakan perubahan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Ada kelas menguasai dan kelas dikuasai.  

Sejatinya, antara buruh dengan pemilik modal ada hubungan simbiosis mutualisme. Buruh -yang hidup dari hasil upah kerja- hanya bisa bekerja bila ada pemilik modal. Sebaliknya, pemilik modal –yang hidup dari usahanya- membutuhkan buruh demi keberlangsungan usahanya.

Islam Memandang Buruh Pekerja

Islam, sebagai rahmatan lil ‘alamin memposisikan sejajar antara pemilik modal dan para pekerja. Mereka terikat akad ijarah. Ada hak dan kewajiban masing-masing pihak yang mesti ditunaikan. Ada pula etika yang sepatutnya dilaksanakan.

Tidak hanya terhadap kaum buruh, Islam yang awal kemunculannya dunia masih berada di jaman perbudakan, mengajarkan etika-etika terhadap para budak. Diantaranya, cerita bagaimana Nabi menegur dengan keras Abu Mas’ud al-Anshari yang kedapatan memukul budaknya, “Ketahuilah wahai Bapaknya Mas’ud, Allah lebih kuasa menghukummu dari pada kekuasaanmu menghukumnya”. Teguran yang membuat Abu Mas’ud menyesal dan menebusnya dengan seketika memerdekakan budaknya tersebut. “Andai engkau tidak melakukan (memerdekakannya), niscaya neraka akan melahapmu”, kata Nabi menanggapi tindakan Abu Mas’ud yang kelak diabadikan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, Abu Daud, Turmudzi, dan beberapa ulama hadits lainnya. Bila terhadap budak saja demikian, apalagi terhadap buruh yang ikatannya hanya sebatas akad ijarah (sewa jasa/tenaga/keahlian)

Nabi mengajarkan agar upah buruh dibayar sebelum keringatnya kering. “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”, demikian riwayat Abdullah bin Umar yang diabadikan Ibn Majah. Secara tekstual, maknanya mungkin harus dibayar cepat. Namun konteks hari ini, hadits ini bisa dimaknai dengan jangan sampai kesehatan buruh tidak terjamin. Jangan sampai ketika sakit, buruh tidak mampu berobat. Bukankah orang sakit tidak berkeringat? Kalaupun berkeringat, yang keluar adalah keringat dingin atau diaporesis yang merupakan gejala dari penyakit.

Pemberian upah yang tidak sesuai juga menjadi perhatian Nabi. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari, “Ada tiga orang yang akan jadi musuhku pada hari kiamat…”, salah satunya “seorang yang mempekerjakan buruh, maka si buruh memenuhi tugasnya dan ia tidak memberikan upahnya”. Tidak memberikan upah di sini bisa dimaknai tidak membayar sama sekali, bisa pula membayar namun dengan upah yang tidak sepadan (ujrah mitsl) ataupun tidak sesuai kesepakatan (ujrah musamma). Karenanya, dalam fikih bila terjadi konflik antara pengupah dengan buruh terkait upah, maka hakim memutuskan upah wajib dibayar dengan nilai sepadan (ujrah mitsl).

Masih banyak hadits lain yang mengajarkan etika hubungan tuan terhadap budak, seperti larangan memberi pekerjaan di luar batas kemampuan, dan etika lainnya yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaih wa aalih wa sallam

Eksploitasi Buruh Pekerja, Fakta Sejarah.

Faktanya, dalam perjalanan sejarah, kaum buruh selalu menjadi pihak yang kalah. Karena pemilik modal masih bisa hidup meski kegiatan usahanya terhenti. Sebab ia masih bisa menjual usaha dan pabriknya untuk mendapatkan uang. Sementara kaum buruh –bila tidak bekerja- sulit untuk bertahan hidup. Penghasilan mereka dari bekerja tidak cukup untuk menopang kehidupan dalam jangka panjang. Jadilah kaum buruh kelas yang lemah dan terpinggirkan. Kelas buruh berpeluang untuk diekploitasi dan diperas, karena tidak ada pilihan.

Posisi lemah kaum buruh ini kemudian dimanfaatkan oleh para pemilik modal. Hubungan simbiosis mutalisme menjadi hubungan eksploitasi. Para pemilik modal berkesempatan memeras keringat para buruh untuk usahanya, dan kaum buruh pasrah dengan kelemahannya. 

Frederick Engels, dalam bukunya yang telah diterjemahkan dengan judul ‘Kondisi Kelas Pekerja Inggris: Embrio Sosialisme Ilmiah’, melaporkan kondisi buruh di Inggris abad XIX. Tidak peduli laki-laki dewasa, perempuan dewasa, ataupun anak-anak, mereka bekerja selama 14 jam sehari dengan upah rendah dan kondisi kerja yang buruk. Mungkin hanya status saja yang membuat mereka tidak disebut budak.

Eksploitasi pekerja semacam ini terus berlangsung dari jaman ke jaman. Tidak hanya di Inggris, tapi di berbagai belahan dunia. Bahkan, lebih parah lagi, di negara-negara berpenduduk muslim kita tidak jarang mendengar pekerja diperkosa, oleh tuannya yang seorang Muslim. Karena seperti kata Karl Marx, “Kelas penguasa tidak akan melepaskan kekuasannya dengan sukarela”. Kaum buruh memerlukan pihak lain untuk menguatkan posisi tawar mereka.

Tanggungjawab Ulama untuk Kelas Pekerja

Nahdlatul Ulama, sebagai organisasi para ulama memiliki perhatian terhadap perburuhan ini. Seorang murid Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari yang bernama KH. Mayskur, ulama kelahiran Singosari 30 Desember 1902, menggagas berdirinya Sarbumusi, Sarikat Buruh Muslimin Indonesia.  Berdiri pada 27 September 1955, Sarbumusi sebagai organisasi buruh kaum Nadhdliyyin ketika itu salah satu organisasi buruh yang besar dan kuat disamping tiga organisasi buruh lainnya, Gasbindo yang berafiliasi ke Masyumi, KBKI yang berafiliasi ke PNI, dan SOBSI yang berafiliasi ke PKI.

Didirikannya Sarbumusi adalah sebagai bentuk kepedulian kyai terhadap kelas pekerja. Sarbumusi ketika itu berkembang pesat, hingga hanya dalam waktu 10 tahun Sarbumusi telah memiliki anggota sekira 2,5 juta orang.

Terlepas dari Sarbumusi, karena tidak semua ulama pandai berorganisasi, langkah KH. Masykur patut menjadi cermin para ulama saat ini, ketika industri telah semakin maju dan jumlah buruh semakin banyak. Para ulama, sebagai seorang yang memiliki “social power” di mata masyarakat bisa memanfaatkan posisi strategisnya untuk berpihak terhadap kaum buruh. Sudah lazim seorang ulama terkenal bisanya didekati oleh kaum pengusaha dan pemilik modal. Apapun niatnya, mereka mau mendekat ulama itu sudah hal yang luar biasa. Tapi bagi si ulama, ada tanggungjawab besar dalam hal ini.

Sebagai “pewaris Nabi”, para ulama bertanggungjawab meneladani bagaimana kepedulian Nabi terhadap kelas budak dan pekerja. Untuk itu, tentu saja para ulama harus mendengar keluhan kaum pekerja terkait pekerjaannya. Menyediakan waktu duduk bersama mereka. Update informasi terkini. Sehingga, ketika ada kesempatan bersama para pengusaha kaya, tidak sekedar untuk menerima upeti dan hadiah dari mereka, tapi juga memperjuangkan hak para pekerja sesuai ajaran agama. Senantiasa mengingatkan para pengusaha akan kewajiban mereka terhadap para pekerja. Bukankah itu yang dilakukan Nabi kita? Siapa lagi yang mewarisinya kalau bukan ulama. Menurut Anda?

Baca Juga : Memaknai Wafatnya Ulama, Bagaimana Sikap Kita Seharusnya.

*) Penulis adalah Wakil Ketua PCNU Kabupaten Banjar, Kalsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *