Teladan Khadijah al-Kubra binti Khuwailid radiyallahu ‘anha, Menghargai Suami plus Keluarganya
Khadijah tidak berprinsip ”aku menikah dengan suamiku, bukan dengan keluarganya” lantas tidak peduli dengan keluarga suaminya. Tapi Khadijah menganggap keluarga suami adalah keluarganya juga.
Oleh : Abu Zein Fardany
Beberapa ulama dari kalangan Ahlussunnah Waljamaah meyakini, membaca manaqib atau riwayat hidup Sayyidatina Khadijah binti Khuwailid di setiap tanggal 11 bulan Ramadan mengundang beberapa keutamaan. Diantaranya, diluaskan rejeki yang halal, diberi kekayaan dari jalan yang tidak disangka. Bila pembacanya seorang pedagang, maka Allah anugerahi laba yang banyak dan halal serta mudah urusannya. Bila ia seorang berpangkat atau memiliki jabatan, Allah akan menaikkan pangkatnya. Bila seorang penuntut ilmu, Allah akan menganugerahi ilmu ladunni.
Keutamaan membaca manaqib wanita mulia ini telah masyhur dan banyak yang mengamalkannya. Bahkan, konon mujarab bagi siapapun yang sedang dalam kesusahan, misalnya menanggung banyak hutang. Dikatakan, bila ia membaca manaqib isteri pertama Rasulullah Saw ini dan -bila mampu- disertai menyembelih kambing kemudian menyedekahkan dagingnya, dengan niat pahalanya untuk Sayyidatina Khadijah, niscaya Allah meluaskan rejekinya hingga terbayar hutangnya plus dikabulkan hajatnya.
Wallahu A’lam, kita tidak sedang hendak meneliti kebenaran dari keyakinan yang mentradisi ini. Silakan mau meyakininya ataupun tidak. Tapi menurut penulis, setiap umat Muslim layak untuk menelaah riwayat hidupnya, karena Khadijah adalah Ummul Mukminin alias ibu orang-orang beriman. Masak anak tidak mengenal sejarah hidup ibunya. Tidak elok bukan?
Menarik, ketika suatu kali Sayyidatina Aisyah merasa cemburu, disebabkan seringnya Rasullullah Saw menyebut dan menceritakan tentang Sayyidatina Khadijah. Padahal wafatnya telah lama berlalu. Apa jawab Nabi? “Dia beriman kepadaku saat semua orang orang mengingkariku, membenarkan aku selagi semua orang mendustakanku, menyerahkan hartanya kepadaku selagi semua orang menahannya, Allah menganugerahiku anak darinya selagi wanita selainnya tidak memberikannya kepadaku!”
Baca Juga : Ketika ‘Aisyah, Ummul Mukminin, Harus Memilih.
Nah, seperti apakah gerangan Khadijah? Bagaimana perjalanan hidupnya? Baiklah, mari kita simak bersama perjalanan hidup seorang wanita yang pernah mendapat salam dari Allah Swt dan disampaikan oleh malaikat Jibril, ”Jika dia datang, sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar tentang sebuah rumah di surga, yang didalamnya tidak ada hiruk pikuk dan keletihan”. Demikian diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah Ra.
Memilih Menjadi Isteri Pribadi Mulia.
Setelah beberapa tahun menjanda, semenjak perpisahannya dengan suami yang kedua, Atiq bin ‘A’id bin Abdullah al-Makhzumi, tak terbesit di hati Khadijah untuk menikah lagi, meski beberapa tokoh dan pemuka Quraisy melamarnya.
Menfokuskan diri untuk mendidik dan menjaga Halah dan Hindun, buah dari perkawinan pertamanya dengan Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi, serta mengembangkan bisnis perniagaan, telah menjadi pilihan hidupnya.
Hingga suatu ketika, takdir mengantarkannya bertemu dengan salah seorang pemuda Quraisy yang tak lain adalah kolega bisnisnya, yang terikat kontrak mudharabah, menjualkan barang dagangannya.
Kekagumannya dengan hasil usaha dari pemuda tersebut, tak mampu mengalahkan ketakjubannya terhadap kepribadiannya. Kepribadian Muhammad, nama pemuda itu, lebih besar dan lebih mendalam dari semua yang didapatkannya. Maka mulailah muncul perasaan-perasaan aneh yang berbaur dibenaknya, yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Rasa cinta alami seorang wanita terhadap pria.
Akan tetapi Khadijah merasa pesimis; mungkinkah pemuda tersebut mau menikahinya, mengingat umurnya sudah mencapai 40 tahun? Apa nanti kata orang, karena ia telah menutup pintu bagi para pemuka Quraisy yang melamarnya?
Disaat dia bingung dan gelisah karena problem yang menggelayuti pikirannya, tiba-tiba muncullah seorang temannya yang bernama Nafisah binti Munabbih, yang dengan kecerdikannya mampu menyibak rahasia yang disembuyikan oleh Khadijah tentang problem yang dihadapi dalam kehidupannya.
Nafisah membesarkan hati Khadijah dan menenangkan perasaannya dengan mengatakan bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang memiliki martabat, keturunan orang terhormat, memiliki harta dan berparas cantik. Terbukti dengan banyaknya para pemuka Quraisy yang melamarnya.
Tak lama berselang, Nafisah menemui Muhammad bin Abdullah, saat itu kemenakan Abu Thalib tersebut sedang bersama sahabatnya, ’Ammar bin Yasir. Kemudian terjadilah dialog yang menunjukan kelihaian dan kecerdikan Nafisah :
”Apakah yang menghalangimu untuk menikah wahai Muhammad?”
Pemuda yang mendapat gelar al-Amin tersebut menjawab,
”Aku tidak memiliki apa-apa untuk menikah”.
Dengan tersenyum Nafisah berkata,
”Jika aku pilihkan untukmu seorang wanita yang kaya raya, cantik dan berkecukupan, maka apakah kamu mau menerimanya?”
”Siapa dia?”.
Dengan cepat Nafisah menjawab,
“Dia adalah Khadijah binti Khuwailid”.
Muhammad bin Abdullah kaget. Khadijah binti Khuwailid, siapa di Makkah ini yang tak mengenal namanya. Seorang wanita mulia, keturunan orang mulia. Seorang janda kaya raya yang meski telah banyak laki-laki Quraisy melamarnya, namun ia enggan menerimanya. Kini wanita tersebut menawarkan diri kepadanya, pemuda yatim piatu yang tak memiliki apa-apa. Terlebih Khadijah adalah juragannya. Setelah mempertimbangkan, akhirnya memutuskan ”Jika dia setuju maka akupun setuju”.
Nafisah pergi menemui Khadijah untuk menyampaikan kabar gembira itu, sedangkan Muhammad memberitahukan kepada paman-pamannya tentang keinginannya untuk menerima menikahi Khadijah.
Proses lamaran pun berlangsung. Abu Thalib, Hamzah dan yang lainnya berangkat menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin Asad untuk melamarkan Khadijah bagi keponakan mereka. Sebagai keluarga terhormat, mereka tidak sembarang mengajukan lamaran. Mahar yang diberikan tidak tanggung-tanggung, 20 ekor unta. Lamaran diterima, mahar diserahkan, terjadilah pernikahan.
Usai akad nikah, disembelihlah beberapa ekor hewan kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir. Khadijah juga membuka pintu bagi keluarga dan handai taulan suaminya. Diantara yang hadir, terdapat Halimah as-Sa’diyah yang datang untuk menyaksikan pernikahan anak susuannya, Muhammad bin Abdullah.
Menghargai Suami plus Keluarganya
Demi mengetahui Halimah as-Sa’diyah adalah ibu susu suaminya, Khadijah menghadiahkan 40 ekor kambing kepadanya. Disini terlihat bagaimana penghargaan Khadijah terhadap yang ada hubungan keluarga dengan suaminya. Andaikan ibu kandung suaminya masih hidup, tentu lebih banyak lagi yang diberikannya.
Bukan hanya itu, kelak Khadijah juga mengasuh Ali bin Abi Tholib radhiallâhu ‘anhu, sepupu suaminya yang masih kecil, karena ketika itu keluarga Abu Tholib ditimpa kesusahan ekonomi.
Khadijah tidak berprinsip ”aku menikah dengan suamiku, bukan dengan keluarganya” lantas tidak peduli dengan keluarga suaminya. Tapi Khadijah menganggap keluarga suami adalah keluarganya juga.
Untuk suami tercinta, Khadijah memberikan seorang budak bernama Zaid bin Haritsah sebagai pembantu bagi suaminya, yang kelak dibebaskan dan diangkat anak angkat oleh suaminya.
Dari rumah tangga mulia ini, lahirlah al-Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqqayah, Ummi Kalsum dan Fatimah. Putera dan puteri yang mereka peroleh, sebagai buah dari cinta kasih yang terjalin antara suami dan isteri.
Simak Selanjutnya : Teladan Khadijah al-Kubra binti Khuwailid radiyallahu ‘anha, Menjadi Motivator Suaminya
Bahan Bacaan :
Imam Al-Bukhary, Jami’ ash-Shahih.
Imam Muslim, Jami’ ash-Shahih.
Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah.
Dr. Muhammad bin Alwi al-Maliki, Manaqib Sayidatina Khadijah
Dr. Muhammad Abduh Yamani, ’Allimu Auladakum Mahabbata Aali Batin Nabi.
Dr. Husein Haikal, Hayat Muhammad.
Dr. Aisyah Abdurrahman, An-Nisa Haula ar-Rasul.
Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Ar-Rahiiq al-Makhtuum.
HMH. Al-Hamid al-Husaini, Sejarah Muhammad SAW.
Muhammad Ridho, Muhammad Rasulullah Saw.
Khudari Beik, Nurul Yaqiin.