Prioritas Untuk Diberi Nafkah, Ibu Kandung apa Isteri?
Ketika harta terbatas, mana yang harus diprioritaskan untuk diberi nafkah, prioritas ibu ataukah isteri? Hal ini menarik untuk dibahas, karena setiap pria yang memiliki kemampuan punya kewajiban memberi nafkah keluarganya. Bila ia punya isteri maka wajib memberi nafkah isterinya. Demikian pula nafkah anak-anaknya, bila punya anak.
Oleh: Khairullah Zain *)
Kewajiban member nafkah bagi seorang pria tidak terbatas pada isteri dan anaknya saja. Bila ia memiliki oragtua yang fakir, sementara ia sendiri berkecukupan, maka ia juga wajib memberi nafkah orangtuanya.
Masalahnya kemudian adalah bagaimana bila ia memiliki harta terbatas, hanya cukup untuk memberi satu orang saja. Padahal, misalnya, ibu dan isterinya sama-sama membutuhkan. Mengetahui mana prioritas, nafkah ibu ataukah isteri ini sangat penting, agar tidak salah dalam melaksanakan kewajiban.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, diceritakan bahwa ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kepada siapa ia harus berbakti. Rasulullah menjawab, “ibumu” hingga tiga kali, baru “bapakmu”. Hal ini mengisyaratkan bahwa berbakti kepada ibu kandung sangat diutamakan dalam ajaran agama Islam.
Kemudian bagaimana dengan memberi nafkah? Apakah dengan dalil hadits diatas memberi nafkah ibu kandung lebih utama, ketika dihadapkan pilihan prioritas nafkah, ibu ataukah isteri?
Imam Nawawi dalam kitab Raudhah (IX/93) menyebutkan:
الفصل الرابع في ازدحام الآخذين
فإذا اجتمع على الشخص الواحد محتاجون ممن تلزمه نفقتهم نظر إن وفى ماله أو كسبه بنفقتهم فعليه نفقة الجميع قريبهم وبعيدهم وإن لم يفضل عن كفاية نفسه إلا نفقة واحد قدم نفقة الزوجة على نفقة الأقارب هذا أطبق عليه الأصحاب لأن نفقتها آكد فإنها لا تسقط بمضي الزمان ولا بالإعسار
“Bila terkumpul pada seseorang orang-orang yang membutuhkan (nafkah) dari kalangan orang-orang yang wajib dinafkahinya, maka ia harus mempertimbangkan. Bila hartanya cukup untuk memenuhi semua keperluan mereka, maka ia wajib menafkahi seluruh kerabatnya tersebut, baik yang dekat ataupun yang jauh. Namun, bila hartanya tidak lebih dari sekedar untuk keperluan pribadinya dan satu orang lain, maka ia harus mendahulukan memberi nafkah isteri daripada kerabatnya. Ini yang diterapkan oleh para ashhab (ulama Madzhab Syafi’i). karena dalil kewajiban menafkahi isteri itu lebih kuat, sebab tidak bisa gugur dengan sebab berlalunya waktu, juga dengan ketidakmampuan”.
Pendapat Imam Nawawi yang mengutip para ulama kalangan Madzhab Syafi’I ini menyandarkan alasan pada kewajiban menafkahi isteri tidak akan gugur selamanya, walau sudah berlalu waktunya dan dalam kondisi tidak mampu. Berbeda dengan kewajiban memberi nafkah kerabat (termasuk orangtua). Kewajiban yang kedua ini bisa gugur dengan sebab berlalunya waktu keperluan ataupun dengan adanya ketidakmampuan.
Penyusun kitab I’anah ath-Thalibin malah lebih tegas lagi. Sayyid Bakri Syatho menyebutkan:
أو له محتاجون من أصول وفروع ولم يقدر على كفايتهم قدم نفسه ثم زوجته وإن تعددت، ثم الاقرب فالاقرب.
“Atau baginya ada orang-orang yang membutuhkan, dari kalangan ushul (orangtua dan seterusnya ke atas) ataupun furu’ (anak dan seterusnya ke bawah), dan ia tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka, maka ia wajib mendahulukan keperluan dirinya, kemudian keperluan isterinya, sekalipun berbilang (lebih dari satu), baru kemudian kerabat dengan memprioritaskan yang hubungannya paling dekat”.
Dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj, Ibn Hajar al-Haytami menyebutkan:
له ( محتاجون ) من أصوله وفروعه ، أو أحدهما مع زوجة وضاق موجوده عن الكل ( يقدم ) نفسه ، ثم ( زوجته ) ، وإن تعددت ؛ لأن نفقتها آكد لالتحاقها بالديون ، ومر ما يؤخذ منه إن مثلها خادمها وأم ولده ( ثم ) بعد الزوجة يقدم ( الأقرب ) فالأقرب
“…atau baginya ada orang-orang yang membutuhkan dari dari kalangan ushul (orangtua dan seterusnya ke atas) ataupun furu’ (anak dan seterusnya ke bawah), atau salah satunya, bersama isterinya. Sementara harga yang ada tidak cukup memenuhi semuanya. Maka hendaklah ia memenuhi kebutuhan diri sendiri terlebih dahulu, baru kemudian kebutuhan isterinya, sekalipun berbilang (lebih dari satu). Karena kewajiban menafkahi isteri itu disetarakan (iltihaq) dengan hutang. Dan telah berlalu penjelasannya bahwa semisal dengan isteri (dalam hal kewajiban member nafkah) adalah pembantu dan ummu walad (budak perempuan yang melahirkan anaknya)”.
Alasan Ibnu Hajar dalam hal ini adalah karena memberi nafkah isteri lebih kuat kewajibannya, sebab setara (mulhaq) dengan hutang.
Dengan demikian, tidak ada lagi kebingungan, bila seseorang memiliki keterbatasan kemampuan dalam memberi nafkah dan dihadapkan pada pilihan prioritas nafkah, ibu ataukah isteri.
Namun, penting dicatat, bila nafkah untuk isterinya telah dipenuhinya dan masih ada harta tersisa, maka ia wajib memberi nafkah untuk keluarga atau kerabatnya yang membutuhkan.
*) Penulis adalah alumnus Jurusan Fiqhiyyah Ma’had ‘Aly Darussalam Martapura.
Baca Juga: Ceramah di Unukase, Ini yang Disampaikan Khairullah Zain.