Kenabian, Kewalian, Filosof dan Nur Muhammad
Kenabian, kewalian, filosof dan Nur Muhammad, adalah teori teori menarik untuk kita renungkan. Pun juga mengasyikkan bila kita diskusikan. Apa korelasinya?
Oleh: Khairullah Zain
Kita tidak akan mampu mengenal nabi tanpa mengenal teori kenabian. Atau dengan kata lain, kita tidak akan mampu mengimani seorang nabi tanpa memahami apa yang dimaksud dengan kenabian.
Nah, menurut Al-Farabi (870 – 950 M) kenabian adalah suatu fungsi imajinasi.
Adapun filosof, kata Al-Farabi, adalah orang yang memiliki intelek yang kuat dan sempurna, yang telah mencapai pengetahuan metafisika tertinggi melalui kontak dengan “Intelek Aktif” (Active Intellect / Nur Muhammad), yaitu perwujudan yang memancar dari Tuhan dan menjadi perantara (wasilah) antara Dia dengan manusia (insan).
Jika seorang filosof mempunyai imajinasi yang kuat dan sempurna, maka ia akan mampu melakukan kontak langsung dengan “Intelek Aktif” (Nur Muhammad) tersebut. Kemudian mampu memancarkan kembali hal-hal yang bisa terpahami, yang masuk ke imajinasi, dari bentuk-bentuk yang tak terlihat, dalam simbol-simbol keindahan dan kesempurnaan tertinggi.
Imajinasi juga bisa menerima pengetahuan tentang fakta-fakta yang telah ada (berlalu atau berbeda tempat) dan yang akan ada pada masa depan. Juga tentang eksistensi-eksistensi yang lebih tinggi (alam Malakut).
Orang yang memiliki kemampuan seperti itu akan menjadi nabi sekaligus filosof.
Sebagai filosof, ia hanya dapat mengajar sedikit orang yang dapat melihat kebenaran sebagaimana adanya. Tapi sebagai nabi (mungkin maksudnya rasul), ia akan mengajar orang banyak melalui persuasi dan imajinasi.
Dalam teori Al-Farabi, kenabian bukanlah semata anugerah yang diberikan begitu saja. Kenabian adalah keadaan manusia yang alamiah; suatu keadaan imajinasi, bukan nalar, tetapi tidak memberikan akses ke pengetahuan umum yang mustahil dicapai melalui filsafat.
Menurut Ibnu Sina (980 – 1037 M), walaupun cahaya (iluminasi) kenabian adalah suatu keadaan alamiah, namun ini adalah keadaan (kondisi) intelek, bukan hanya imajinasi. Ini adalah keadaan tertinggi intelek manusia.
Fungsi utama kenabian (maksudnya kerasulan) adalah menciptakan hukum yang harus dipatuhi manusia, sesuai hukum ilahiah. Tetapi hukum ilahiah tersebut pada prinsipnya dapat dicapai oleh intelek manusia itu sendiri. Bahkan tanpa adanya seorang (yang mengaku sebagai) nabi pun, suatu sistem hukum yang baik dapat tumbuh di masyarakat melalui cara lain.
Teori Ibnu Sina ini sulit untuk diterima kita yang ortodoks. Namun, dalam dunia Sufi, teori ini bisa kita lacak. Misal ada ungkapan “andai al-Qur’an tidak diturunkan, kitab Ihya bisa menjadi pedoman ummat”. Ini menandakan adanya kepercayaan bahwa akal filosof Imam al-Ghazali mencapai puncak akal manusia, yang seandainya pintu kenabian masih dibuka, niscaya beliau adalah nabi.
Pada prinsipnya, menurut teori mereka berdua, kenabian adalah pencapaian intelektual manusia yang terkoneksi dengan “Intelek Aktif” atau Nur Muhammad. Dan kondisi ini bisa dicapai oleh siapapun.
Menurut saya, karena pintu kenabian ditutup maka sebutan untuk yang mencapai “maqom” ini adalah kewalian. Selaras dengan adanya riwayat hadits, “Para wali dari kalangan ummatku, seperti para nabi dari kalangan Bani Israil”. Baik nabi ataupun wali adalah filosof. Meski bukan sebaliknya, yaitu tidak setiap filosof adalah nabi atau wali.
Menurut Anda?
Editor: Shakira.
Baca Juga: Ciri Murabbi Mursyid Sejati