Status Hukum Ikan Budidaya Yang Lepas Akibat Banjir

Status hukum ikan budidaya, baik di kolam ataupun keramba, yang lepas akibat banjir menarik untuk kita diskusikan. Bagaimanakah status ikan-ikan yang lepas tersebut menurut perspektif hukum fikih? Halalkah ia ditangkap karena sudah berada di alam bebas?

Oleh: Muhammad Shofian *)

IMG 20210123 WA0004 1 150x150 - Status Hukum Ikan Budidaya Yang Lepas Akibat Banjir

Lumrah, sebagian masyarakat ada yang mengambil keuntungan dengan lepasnya ikan-ikan yang lepas akibat banjir dengan menangkapnya. Karena memang ikan-ikan yang terbiasa hidup manja dalam kolam ataupun keramba tersebut jauh lebih mudah ditangkap ketimbang ikan bebas.

Sementara, pada pembudidaya ikan adalah korban yang merasakan kerugian, baik karena keramba miliknya hanyut dibawa derasnya banjir, ataupun karena air kolamnya meluber sehingga mengakibatkan ikan peliharaan mereka lepas ke alam bebas.

Nah, bagaimanakah status hukum ikan budidaya yang lepas tersebut menurut perspektif hukum fikih? Halalkah ia ditangkap karena sudah berada di alam bebas?

Sebelum membahas hukumnya, terlebih dahulu kita memetakan status ikan budidaya yang lepas tersebut. Apakah masuk kategori maal dloi’ (harta tersia-sia) ataukah luqatah (harta temuan)?

Menurut kategorisasi dalam Madzhab Syafi’i, harta yang hanyut akibat banjir adalah Al-Amwal Ad-Dlai’ah (harta yang tersia-siakan). Dalam hal ini kita bisa merujuk As-Syekh Sulaiman Al-Jamal dalam Hasyiah Futuhat Al-Wahhab (VI/03):

نَعَمْ مَا أَلْقَاهُ نَحْوُ رِيحٍ أَوْ هَارِبٍ لَا يَعْرِفُهُ بِنَحْوِ دَارِهِ أَوْ حِجْرِهِ وَوَدَائِعُ مَاتَ عَنْهَا مُوَرِّثُهُ وَلَا يُعْرَفُ مَالِكُهَا مَالٌ ضَائِعٌ لَا لُقَطَةٌ

“Iya, benda yang terbawa oleh angin atau yang lari yang tidak kenal rumahnya atau tempat tinggalnya, dan semisal benda titipan dari seseorang yang ahli warisnya telah wafat dan pemiliknya tidak diketahui, itu semua merupakan harta yang tersia-siakan bukan barang temuan.”

Meski hukum ikan budidaya yang lepas akibat banjir tidak disebutkan secara eksplisit dalam ungkapan di atas, namun bisa kita analogikan kasusnya.

Referensi lain sebagai penguat, keterangan dari Syekh Iwadl dalam Taqrirnya terhadap kitab Al-Iqna’ Khatib As-Syarbini (II/83):

أما ما القاه الريح في دارك أو حجرك فليس لقطة بل مال ضائع، و كذا ما حمله السيل إلى أرضك فان اعرض عنه صاحبه كان ملكا لك لا لقطة، وان لم يعرض فهو لمالكه و يزاد ما وجد اى فى غير مملوك و الا فلمالكه.

Adapun harta yang terbawa oleh angin berada di dalam rumah atau kamarmu maka itu bukanlah (hukumnya) seperti barang temuan, melainkan hukum barang yang hilang. Demikian pula harta yang terbawa oleh banjir ke tanahmu. Jika saja pemiliknya sudah tidak mencarinya maka harta itu menjadi milikmu bukan lagi sebagaimana hukum barang temuan. Jika pemiliknya masih mencarinya maka barang itu masih menjadi milik pemiliknya.”

Dapat kita simpulkan, sebagai harta tersiakan, harta benda yang hanyut terbawa banjir memiliki dua kemungkinan:

1- Jika ada indikasi pemiliknya akan mengambil kembali, maka harta benda tersebut tidak dapat dimiliki oleh penemunya.

2- Jika ada indikasi pemiliknya tidak akan mengambilnya lagi, maka bagi orang yang menemukannya bisa memilikinya.

Indikasi nomer dua ini dapat kita jumpai pada ikan budidaya yang lepas Lihat banjir tersebut. Misalnya ikan yang sudah lepas itu berasal dari jala beberapa orang peternak yang sudah hanyut jauh dari wilayahnya, menutup kemungkinan bagi para peternak bisa mengetahui mana ikan miliknya dan mana milik orang lain.

Screenshot 20210211 031524 1 - Status Hukum Ikan Budidaya Yang Lepas Akibat Banjir
Masyarakat Ramai Memancing Ikan Budidaya yang Lepas Akibat Banjir

Kendati demikian, ada sebagian pakar fikih Madzhab Syafi’i yang berbeda dengan pendapat di atas. Menurut mereka, harta benda yang hanyut terbawa banjir jika sudah tidak diketahui pemiliknya dan kemungkinan besar pemiliknya tidak perduli lagi, tetap tidak bisa dimiliki oleh individu, tapi harus diserahkan ke kas negara (Baitul Mal). Atau dengan kata lain menjadi hak bersama.

Dalam Bughyah Al Mustarsyidin, Sayyid Abdurrahman Al-Masyhur menyebutkan (330):

)مسألة) : حُكْمُ مَا يُلْقِيْهِ الْبَحْرُ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَخْشَابِ وَنَحْوِ الْآلاَتِ مِنْ كُلِّ مَا دَخَلَ تَحْتَ يَدِ مَالِكٍ حُكْمُ الْمَالِ الضَّائِعِ ، إِنْ تُوُقِّعَ مَعْرِفَةُ مُلاَّكِهِ عَادَةً حُفِظَ وُجُوْباً عِنْدَ أَمِيْنٍ ، وَلَا يَسْتَحِقُّ آخِذُهُ جُعْلاً ، وَإِنْ تَكَرَّرَ لَهُ مِنْ بَعْدُ أَوْ إِطَّلَعَهُ فِيْ سَفِيْنَتِهِ ، فَإِنْ أَيِسَ مِنْ مَعْرِفَةِ مَالِكِهِ صُرِفَ مَصْرِفَ بَيْتِ الْمَالِ

“Hukum sesuatu yang terbawa ombak laut seperti harta benda, kayu-kayu dan peralatan lainnya dari setiap benda yang pernah dimiliki oleh seseorang, maka sama seperti hukum harta tersia-sia. Ketika masih diharapkan atau dimungkinkan untuk mengetahui para pemiliknya, maka wajib dijaga di tangan orang terpercaya, penemunya tidak berhak menjadikanya sebagai ju’alah (semacam sayembara, siapa yang dapat ia yang berhak), walaupun setelah itu ia berulang kali menemukanya atau terlihat berada dalam perahu miliknya. Dan ketika sudah tidak bisa diketahui pemiliknya maka diserahkan hak kelolanya pada pengelolaan Baitul Maal”.

Pendapat senada juga diutarakan oleh Syekh Sulaiman Al-Jamal dalam hasyiahnya (III/3).

Menurut hemat penulis, pendapat pertama alias yang mengatakan harta tersebut adalah menjadi hak penemunya bila pemiliknya tidak bisa diketahui lagi, lebih unggul dan lebih maslahat untuk masyarakat dalam penetapan status hukum ikan budidaya yang lepas akibat banjir ini.

Penulis berargumen dengan pendapat Imam Al-Hasan Al-Bashri -seorang Tabi’in yang juga imam madzhab fikih, kendati madzhab bentukannya sudah punah tergerus oleh waktu- sebagaimana dikutip oleh Sayyid Muhammad Bin Ahmad As-Syathiri dalam Syarh Al-Yaqut An-Nafis (506):

وذكر العلماء في المال الذي يحمله السيل، ثم يلقيه بأرض إنسان، قالوا: إنه مال ضائع؛ لكن الغريب أن الحسن البصري يقول: من وجده ولم يعرف مستحقه … يملكه.

“Para ulama menyebutkan tentang harta yang terbawa banjir hingga masuk lahan seseorang, mereka mengatakan harta benda tersebut adalah harta yang tersia-siakan. Akan tetapi, ada pendapat dari Al-Hasan Al-Basri yang mengherankan, beliau mengatakan: bahwa siapapun yang menemukan harta benda tersebut dan dia tidak tahu siapa pemiliknya, maka sang penemu berhak memilikinya”.

Simpulan, status hukum ikan budidaya yang lepas akibat banjir, jika sudah keluar dari area budidaya hingga masuk ke kampung-kampung, sementara pemiliknya sudah tidak mungkin menemukannya kembali, bukan seperti barang temuan atau luqathah yang wajib diumumkan dan dijaga hingga ditemukan pemiliknya.

Status hukum ikan budidaya tersebut seperti maal dloi’ atau harta tersiakan yang jika diketahui pemiliknya maka wajib diserahkan kembali. Namun, jika pemiliknya tidak dapat diketahui maka boleh dimiliki oleh siapapun yang menangkapnya.

Wallahu A’lam.

*) Penulis adalah Sekretaris LBM NU Kabupaten Banjar.

Baca Juga: Menjamak Sholat Karena Banjir, Bolehkah?

Baca Juga: Sholat Diatas Genangan Air Banjir.

Hukum Eyelash Extension dan Menyambung Rambut Menurut Islam.

One thought on “Status Hukum Ikan Budidaya Yang Lepas Akibat Banjir

  • 11 Februari 2021 pada 06:54
    Permalink

    Luar biasa ulasan generasi muda NU. Perbedaan pendapat yang dijelaskan digali dengan baik disampaikan dgn bijak. Tingkatkan terus analisisnya, perbanyak refleksinya, dan jangan ada yang tersisa, sehingga pembaca bisa memilih dgn jelas. Sukses selalu

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *