Ini Alasan Imam Junaid Al Baghdadi Tidak Mau Berceramah
Imam Junaid Al Baghdadi adalah imam dalam bidang Tashawuf Ahlusunnah Wal Jamaah. Hidup pada rentang tahun 215 H – 298 H, tokoh besar yang diakui sebagai “Sayyidut Thaifah” (Pimpinan Kelompok Sufi) ini sering pula dipanggil dengan ‘Abu Al Qasim’ (Ayahnya Qasim).
Oleh: Khairullah Zain.
Menurut Syekh Abu Abdurrahman As Sulami (wafat 412 H), seorang ulama besar penyusun kitab-kitab Tashawuf, Imam Junaid Al Baghdadi adalah ‘Imam para Sufi dan pemimpinnya. Dia diterima di semua lisan’.
Imam Junaid bin Muhammad bin Junaid Al Baghdadi berasal dari Nahawand, satu kawasan di Kurdistan, namun kemudian beliau pindah hingga wafatnya di Baghdad.

Meski dalam keilmuan Imam Junaid telah mencapai tingkatan para guru, namun beliau lebih suka bersembunyi. Orang-orang melihat kesehariannya diisi dengan berdagang pecah belah. Dengan cara itu, dia bebas melakukan ibadah
Di balik berbisnis pecah belah, Imam Junaid Al Baghdadi terus menerus melakukan olah batin (riyadhoh) dan berjuang memerangi nafsu (mujahadah). Tiap hari dia sholat ratusan rakaat. Puluhan tahun tidak pernah tidur malam, karena terus menerus beribadah dari habis Isya hingga Subuh.
Padahal, menurut yang disebutkan Ibn Mulaqqan dalam Thabaqat Al Awliya, sejatinya Imam Junadi sudah mampu menjadi mufti dalam Madzhab Abu Tsaur sejak usia 20 tahun.
Karena melihat kemampuannya dalam keilmuan, pada syekh mendesaknya untuk mau berceramah. Namun, semuanya ditolak secara halus oleh Imam Junadi. “Aku masih belum pantas menceramahi orang lain,” ujarnya.
Akhirnya, suatu kali guru Imam Junaid sendiri yang juga saudara ibunya, Imam Saari (Sirri) as Saqathi memintanya untuk berceramah.
Tapi apa jawab Imam Junaid Al Baghdadi?
“Selama gurunya masih ada, tidak pantas bagi seorang murid berceramah.”
Imam Saari terdiam. Jawaban murid sekaligus keponakannya itu benar secara adab seorang murid.
Hingga pada suatu malam. Ketika itu malam Jum’at. Imam Junaid Al Baghdadi bermimpi. Rasulullah shalallahu’alaihi wa aalih wa sallam mendatanginya, dan memerintahkan agar dirinya membagikan ilmunya.
“Maka seketika aku terbangun. Kemudian aku langsung mendatangi pintu rumah Saari As Saqathi, sebelum subuh tiba,” cerita Imam Junaid, sebagaimana dikutip Zanuddin Al Manawi dalam Al Kawakib Ad Durriyah fi Tarajim As Sa’adah As Shufiyyah.
Rupanya Imam Saari telah menantinya. Bahkan sebelum dia bercerita, gurunya itu langsung berkata:
“Engkau tak mau berceramah ketika dimohonkan oleh orang yang ingin menjadi muridmu. Engkau tak mau ketika diminta oleh para syekh di kota Baghdad. Bahkan engkau tak mau berceramah ketika aku sendiri meminta. Tetapi kini, Nabi sendirilah yang memberi perintah kepadamu. Karena itu engkau harus mau berceramah!”
Imam Junaid mengucap istighfar. Dia merasa salah. Namun, dia heran, dari mana gurunya itu mengetahui mimpinya.
“Mohon ampun guru, bagaimana engkau bisa mengetahui bahwa aku telah berjumpa dengan Nabi dalam mimpiku?”
Imam Saari tersenyum. Tak ada yang perlu dirahasiakan terhadap muridnya yang istimewa itu. Dan tentu saja bukan guru mursyid bila tidak mampu mengetahui kedudukan (maqaam) dan kondisi (ahwaal) muridnya.
“Aku bertemu dengan Allah dalam mimpi,” jawab Sari, “dan Dia berkata kepadaku: “Telah Ku-utus Rasul-Ku untuk menyuruh Junaid berceramah di atas mimbar.
Sejak itulah Imam Junaid membuka ilmunya, hingga kelak dia dikenal sebagai seorang imam para Sufi.
Demikianlah adab para imam kita, mereka tidak mau melakukan sesuatu berdasarkan nafsu. Setelah mendapat perintah, baru berani membuka keistimewaan dirinya. Bukan sebaliknya, suka menonjolkan diri dan ingin dianggap mulia. Bahkan sampai rebutan kedudukan dan jabatan.
Wallahul Muwaffiq ilaa Aqwamith Thoriiq.
Baca Juga: Ketika Abu Yazid Al Busthami Harus Memilih.
Kenapa itu kata2nya membuka keistimewaan dirinya lalu apa kabarnya tawaddhu dan khumuul
Khumul adalah adab tingkat pemula seorang Sufi. Sekali lagi, tingkat pemula. Setelah mendapat perintah dari Hadhratur Rasul, maka adab selanjutnya adalah menaati perintah tersebut.
Sementara, tawadhu’ adalah adab batin. Ketika diperintahkan untuk menampakkan keistimewaan, maka dengan menaati perintah tersebut adalah bentuk ketawadhu’an.