Tadarus Al Qur’an, Tradisi Muslim Banua Banjar
Setiap Ramadan, salah satu tradisi masyarakat muslim di Banua Banjar adalah tadarus Al Qur’an.
Oleh: Khairullah Zain *)
Bagi masyarakat Banua Banjar, tadarus Al Qur’an adalah salah satu tradisi yang telah berjalan sejak jaman beuhela. Setiap bulan Ramadan, sekumpulan orang biasanya berkumpul di suatu masjid atau langgar untuk membaca kitab suci Al Qur’an. Ketika satu orang membaca, yang lainnya menyimak dan menegur bila ada salah bacaan.
Istitilah tadarus sebenarnya diadopsi dari bahasa Arab. Kata tadarus berakar pada ‘darasa-yadrusu-durusan/dirasatan’ yang memiliki arti ‘belajar – pelajaran’. Kalimat ‘darasa ‘alal mudarris’ misalnya diterjemahkan dengan ‘belajar kepada seorang guru’. Kata ‘madrasah’ diterjemahkan dengan arti ‘tempat belajar’ alias sekolahan. Ketika kata ‘darasa’ mendapat imbuhan huruf ‘ta’ dan ‘alif’ menjadi wazan ‘tadaarasa-yatadaarasu-tadarusan’ maka maknanya adalah ‘saling belajar’.
Tidak tercatat siapa yang memulai tradisi tadarus Al Qur’an ini di Banua Banjar. Namun, membaca sejarah tradisi dalam agama Islam, sah saja bila berasumsi tadarus sejatinya dimulai sejak era kenabian.
Dalam beberapa hadits diriwayatkan, diantaranya termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, setiap bulan Ramadan Jibril turun ke bumi dan melakukan tadarus bersama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaih wa aalih wa sallam.
Melakukan tadarus tidak hanya dicontohkan oleh Nabi atau sunnah fi’liyyah. Beliau juga menganjurkan umatnya untuk melakukannya. Dalam sebuah hadits yang diabadikan dalam Shahîh Muslim, Sunan Abî Dâwûd, serta Musnad Ahmad bin Hanbal, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anh, Rasulullah shallallahu ‘alaih wa aalih wa sallam bersabda:
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di masjid untuk membaca, dan bertadarus Al Quran di antara mereka melainkan rasa ketenangan akan turun di hati mereka, rasa kasih sayang akan menyelimuti mereka dan para malaikat mengelilingi mereka serta Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menyebut-nyebut mereka di kalangan para malaikat.”
Dengan demikian, tadarus tidak hanya mengikuti sunnah fi’liyyah, tapi juga melaksanakan sunnah qawliyyah dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaih wa aalih wa sallam.
Tadarus tidak sama musabaqah. Istilah musabaqah berakar pada kata ‘sabaqa’ yang artinya mendahului. Musabaqah bermakna saling mendahului atau mencari pemenang alias lomba. Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) bila kita terjemahkan maka bermakna ‘Lomba Membaca Al Qur’an’.
Berbeda dengan tadarus Al Qur’an yang kesunnahannya disepakati semua ulama, menyikapi Musabaqah Tilawatil Qur’an para ulama tidak bersepakat. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Namun, kita tidak membahas lebih jauh terkait hal ini.
Mengingat pentingnya melestarikan tradisi tadarus Al Qur’an, penulis mendukung ketika para dzuriat Rasulullah shallallahu ‘alaih wa aalih wa sallam yang tergabung dalam wadah Forum Habaib Banjar menggagas acara tadarus Al Qur’an bersama para calon gubernur Kalimantan Selatan.
Tentu saja menghindari tuduhan acara yang akan digelar di Masjid Agung Al Karomah ini adalah kampanye salah seorang calon, Forum Habaib Kabupaten Banjar jangan menonjolkan salah seorang dari dua calon gubernur. Dua calon yang sedang berkompetisi dalam pemilihan gubernur Kalimantan Selatan harus diundang bersama-sama hadir dalam acara ini. Tujuan utamanya adalah untuk mempertahankan tradisi muslim di Banua Banjar. Karena sangat penting bagi kita untuk membudayakan tadarus Al Qur’an dan mempertahankan tradisi banua kita ini. Selain itu, juga untuk mengenalkan kedua calon gubernur kepada masyarakat, khususnya di wilayah Kabupaten Banjar, sekaligus sebagai ajang silaturrahmi demi mendinginkan suasana menghadapi pemilihan suara ulang (PSU) yang akan berlangsung tidak lama lagi.
Di sisi lain, penulis menyayangkan ketika ada seorang tokoh yang mengatasnamakan organisasi keagamaan di Kalimantan Selatan menuduh acara ini adalah musabaqah atau lomba. Walau mungkin tuduhan tersebut akibat kurang memahami perbedaan istilah antara tadarus dengan musabaqah.
Sebagai warga Banua Banjar, penulis sangat berharap tuduhan-tuduhan ataupun kecurigaan yang didasarkan pada ketidakpahaman atas apa yang digagas oleh para habaib ini dikaji ulang. Tentu saja dengan berdasarkan kajian yang ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan.
Karena, sekali lagi, tadarus bukan lomba. Membudayakan tadarus Al Qur’an adalah salah satu upaya mempertahankan tradisi masyakat muslim di Banua Banjar.
Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq.
*) Penulis adalah pemerhati Fikih dan Sosial Masyarakat.
Baca Juga: Tadarus Al Qur’an Cagub Kalsel, Ini Tanggapan Warga Banua.