Kenali, Inilah Makanan yang Disukai Wali Allah

Makanan yang disukai para wali Allah tidaklah sama dengan makanan yang disukai orang-orang awam. Bila umumnya kebanyakan manusia menyukai makanan karena rasa lezatnya yang sesuai selera, maka tidak demikian dengan wali Allah. Kisah berikut ini memberi gambaran kepada kita, tentang makanan yang disukai para wali Allah.

Banua.co – Kisah ini adalah kisah Syekh Al Harits Al Muhasibi bersama muridnya, Imam Junaid Al Baghdadi. Beliau adalah seorang ulama rujukan para ahli Tasawuf. Kitab “Ar Ri’ayah Li Huquqillah” (Menjaga Hak-hak Allah) yang ditulisnya menjadi rujukan para sufi.

Ulama besar kelahiran Basrah, 165 Hijriah ini menjadi bernama asli Al Harits bin Al Asad Al Bashri. Julukannya Abu Abdillah. Diberi gelar Al Muhasibi (yang selalu mengintrospeksi dirinya) karena sikapnya yang selalu introspeksi diri.

Kisah ini terjadi ketika Syekh Al Haris Al Muhasibi telah tinggal di kota Baghdad. Beliau hijrah ke Baghdad semula untuk menuntut ilmu agama. Namun kemudian tinggal selamanya hingga wafatnya pada tahun 243 Hijriah.

Ketika itu, Syekh Al Harits Al Muhasibi mengunjungi muridnya, Junaid Al Baghdadi.

“Aku lihat ketika itu dia dalam kondisi lapar,” cerita Imam Junaid Al Baghdadi.

“Bolehkah aku siapkan makan untuk Tuan?” Tanya Imam Junaid meminta izin kepada gurunya tersebut.

“Silakan,” jawab Syekh Harits.

Imam Junaid kemudian menyiapkan makanan untuk menjamu gurunya. Dia mengambil dari tempat penyimpanan makanan.

Makanan itu adalah pemberian orang yang menggelar jamuan makan malam pada acara perkawinan. Tentu saja, makanan lezat.

“Ku ambil makanan tersebut dan kuhidangkan ke hadapan Harits,” cerita Imam Junaid.

Namun, suatu peristiwa aneh tiba-tiba terjadi. Tiba-tiba saja tangan Syekh Harits Al Muhasibi mengejang. Dia tidak mampu menggerakkan tangannya untuk menyuap makanan.

“Sempat dia menyuap sesuap makanan tersebut. Namun meski telah dikunyah, dia tidak bisa menelan,” kata Imam Junaid.

Syekh Harits kemudian meludahkan makanan tersebut, seraya bangkit berdiri dan meminta izin pulang.

Imam Junaid merasa heran dan penasaran, gerangan apa yang terjadi dengan syekh yang sangat dihormatinya itu. Namun perasaan heran tersebut disimpannya.

Suatu hari, ketika bertemu dengan Syekh Harits, Imam Junaid memberanikan diri bertanya, apa sebenarnya yang terjadi sehingga Syekh Harits tidak mampu menggerakkan tangannya untuk makan.

“Waktu itu aku memang sedang lapar,” ujar Syekh Harits.

“Selain itu, aku juga ingin menyenangkan hatimu yang menjamuku,” lanjutnya.

“Namun, Allah memberi isyarat khusus, yaitu bila aku ingin memakan makanan yang syubhat, maka aku tidak bisa menelannya. Bahkan tanganku tidak mampu menyentuhnya. Meski aku telah berusaha, tapi itu sia-sia.”

Syekh Harits kemudian balik bertanya, “Sebenarnya, dari mana kau memperoleh makanan tersebut hai Junaid?”

“Dari seorang kerabatku,” jawab Imam Junaid.

Imam Junaid masih tidak puas, keinginannya untuk menjamu gurunya tersebut belum terwujud.

“Bagaimana kalau sekarang, bersediakah guru berkunjung ke rumahku?” Tanya Imam Junaid.

“Baiklah,” jawab Syekh Harits.

Mereka pun berjalan menuju rumah Imam Junaid. Setelah sampai, Imam Junaid langsung menyiapkan makanan. Kali ini hanya sepotong roti kering.

Ajaib, Syekh Harits Al Muhasibi malah menikmati suguhan yang sangat sederhana dan murah tersebut.

Malah, beliau memuji.

“Makanan yang seperti inilah yang seharusnya disuguhkan untuk para syekh sufi”.

Demikian kisah yang diabadikan pada ulama kitab-kitab Tasawuf, di antaranya dalam Tadzkirah Al Awliya susunan Syekh Fariduddin Al Aththar.

Ada pula kisah lain, seorang ulama sufi di Martapura, bila berhadapan dengan orang banyak beliau turut ikut menikmati suguhan. Namun ketika pulang dan berada di rumah, makanan yang tidak jelas kehalalannya akan dimuntahkannya kembali.

Kisah ini menjadi pelajaran untuk kita semua. Para syekh sufi tidak mengutamakan kenikmatan dunia. Karenanya, makanan yang disukai para wali Allah bukan terbatas nikmat di lidah, tapi pada halal tidaknya makanan tersebut, dan halal tidaknya cara mendapatkannya.

Karenanya, bila kita menyuguhkan makanan untuk mereka, maka sangat penting memperhatikan kehalalannya. Karena hal itulah yang membuat suatu makanan disukai wali Allah. Bila tidak, makanan yang kita suguhkan malah akan menyusahkan mereka. Wallahu A’lam.

Dikisahkan kembali oleh: Khairullah Zain. Editor: Shakira.

Baca Juga: Inilah Penyebab Imam Junaidi Al Baghdadi Tidak Mau Berceramah!
Baca Juga: Sufi Generasi Awal: Rabi’ah Al Adawiyah, Harits Al Muhasibi dan Junaid Al Baghdadi. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *