Muktamar NU dan Nasib Regenerasi Organisasi
Banua.co – Muktamar NU sudah di ambang mata. Isu regenerasi ramai di kalangan Nahdliyin. Sebenarnya, Isu regenerasi ini tak hanya sekadar keinginan munculnya kader-kader baru di lingkungan jam’iyah, melainkan ada perintah agama, dan tuntutan zaman, serta idealisasi institusi. Di negara-negara modern yang menganut faham demokrasi, proses regenerasi sudah mapan, rata-rata mereka sepakat presiden atau kepala negara cuma 2 periode.
Oleh : HM. Syarbani Haira *)
TAK lama lagi masyarakat sarungan di negeri ini akan menyelenggarakan “aruh ganal” (event besar), Muktamar Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Pelaksanaan muktamar akan dilangsung di Lampung, 23 – 25 Desember 2021 mendatang. Keputusan muktamar ini disepakati dalam Munas NU di Jakarta beberapa waktu lalu.
Semula masih terdapat segelintir tokoh dan elemen NU yang ingin muktamar ditunda lagi, walau pun Muktamar NU sudah pernah ditunda. Jika aturan formal yang diterapkan, harusnya muktamar ini sudah diselenggarakan tahun 2020 yang silam. Namun karena alasan pandemic, serangan Covid-19, akhirnya kepengurusan hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang tahun 2015 silam diperpanjang menjadi 6 (enam) tahun.
Ternyata Muktamar NU mirip-mirip event partai politik, bahkan mendekati pilpres atau pilkada. Ini terbukti, fenomena yang muncul di lapangan, adanya polarisasi antar pendukung. Misalnya munculnya polarisasi antara HMI-PMII, beredarnya kelompok Yogya dan Jakarta, Pesantren dan non-Pesantren, Pertahana vs Penantang, dan lain sebagainya.
Tidak hanya itu, muncul pula tudingan buruk pada pihak-pihak yang akan ikut ber-kontestasi, dengan tudingan-tudingan yang tak kalah serunya, seperti misalnya calonnya pro Yahudi, pro Israel, pro Amerika, pro Iran (Syi’ah), anti Arab (Wahabi), serta pengusung agama baru (Islam Nusantara), dan lain sebagainya.
Gosip lain yang beredar, yang selalu terngiang di telinga setiap hari, misalnya ada kandidat yang didukung “Istana” dan ada pula yang tak didukung “Istana”. Ada pula isu, kandidat yang didukung Amerika Serikat, China, Arab Saudi (Wahaby), atau didukung Iran (Syi’ah). Ada pula isu dukungan pihak partai, misalnya didukung PKB (seperti yang sudah-sudah), dan PDIP (untuk menyebut beberapa nama). Tak hanya sampai di situ, ada pula isu lain, di mana calon tertentu bahkan didukung para Taipan 9 Naga. Luar biasa sekali.
Salah satu calon penantang pertahana Ketua Umum PBNU Kyai Said Aqil Siraj adalah Kyai Yahya Cholil Staquf, Katib ‘Am PBNU. Cucu salah satu pendiri NU ini bahkan digosipkan didukung pemerintah melalui Kementerian Agama. Tak hanya itu, Organisasi kepemudaan NU, Gerakan Pemuda Ansor, juga di anggap terlibat dukung mendukung pada tokoh yang memiliki jaringan sangat luas di dunia internasional tersebut.
Salah kaprah ini tak hanya melanda public, melainkan juga internal NU sendiri. Kenapa ? Karena dari internal NU itu kadang muncul tudingan negative. Misalnya soal dukungan pemerintah melalui Kementerian Agama RI. Semua orang tau jika karyawan dan pimpinan instansi pemerintah itu diisi oleh mayoritas orang NU, bahkan pengurus NU, selain orang Muhammadiyah. Jadi jika ada orang NU yang kebetulan berkarier di Kementerian Agama, lantas mendukung pihak tertentu dalam pencalonan Ketua Umum PBNU, apa yang salah ? Jika model-model begini dipersalahkan, rekan-rekan Muhammadiyah yang berkarier di banyak instansi, pun bisa disalahkan jika sekali waktu mereka ikut cawe-cawe saat Muktamar Muhammadiyah.
Begitu juga dengan Ansor. Bukankah dalam Muktamar NU di Makasar tahun 2010, dan Muktamar NU di Jombang tahun 2015 juga ikut cawe-cawe dalam event 5 tahunan jam’iyah an-nahdliyah tersebut. Kenapa 5 atau 10 tahun silam Ansor tidak dipersalahkan ? Bukankah mereka menjadi penggerak utama kemenangan sang pertahana dalam dua kali muktamar NU.
Keterlibatan adik-adik Barisan Pemuda Ansor itu positive, sebagai upaya penguatan militansi ke-NU-an. Bagaimana pun dari merekalah sebagian penerus estapita kepengurusan NU itu. Militansi adik-adik Ansor itu tak diragukan, dibanding dengan kaum politisi bahkan akademisi serta birokrasi, yang hanya mau ber-NU jika sedang ada kemauan.
Biasanya mereka ini “lupa” dengan NU jika sudah sukses, dan jarang-jarang mau mensukseskan eveng-event NU. Kita ber-NU, seperti kerapkali dititip para ulama, adalah berjuang bersama NU hingga ajal datang. Bukan cuma saat ada maunya, atau hanya saat diminta menjadi pengurus. Masih banyak urusan NU yang belum terselesaikan, dan itu meminta kontribusi orang-orang yang mengaku NU. Saatnya kita gelorakan kembali spirit para pendiri dan pendahulu aktivis NU, agar dalam ber-NU itu “ikhlas serta istiqamah”.
Memunculkan Kader Baru
Di tengah hiruk-pikuk menyambut muktamar NU ini, nampaknya ada suara-suara di lingkungan NU baik arus bawah maupun atas, menjelang Muktamar ke-34 di Lampung Desember mendatang adanya keinginan pada NU untuk melaksanakan salah satu misi besarnya adalah membangun proses kekaderan secara baik. Proses kekaderan yang baik itu secara sosiologis dan filosofis akan dinilai secara baik jika terjadinya keberhasilan regenerasi secara damai di lingkungan kepemimpinan eksekutive Nahdlatul Ulama (NU).
Isu regenerasi ini tak hanya sekadar keinginan munculnya kader-kader baru di lingkungan jam’iyah, melainkan ada perintah agama, dan tuntutan zaman, serta idealisasi institusi. Di negara-negara modern yang menganut faham demokrasi, proses regenerasi sudah mapan, rata-rata mereka sepakat presiden atau kepala negara cuma 2 periode. Hanya negara kerajaan (yang menganut faham kepemilikan terhadap negara) yang sama sekali tak mau menjalankan proses regenerasi.
Saat ini, dalam pengamatan saya, secara nasional keinginan itu sudah di atas 70 %. Angka ini didapatkan dari informasi-informasi yang berkembang, baik melalui info media masa, atau diskusi-diskusi di lingkungan NU.
Meski demikian, sepertinya hingga hari ini warga NU struktural telah terpolarisasi dalam dua kelompok. Ada kelompok stagnant yang masih menginginkan Kyai Said Agil Siraj kembali memimpin PBNU. Namun di sisi lain, tak dikit pula elemen-elemen yang menginginkan NU semakin dinamis, dengan melakukan regenerasi. Ini terlihat dari rekomendasi-rekomendasi yang mereka ungkapkan di lingkungan pengurus dan anggota di berbagai tingkatan.
Jika saja Prof Kyai Said Agil Siraj mendukung gagasan ini, tentu sangat besar maknanya bagi kelangsungan NU di masa depan. Bagaimana pun, jika sebelumnya Kyai Hasyim Muzadi telah secara legowo tak mencalonkan lagi setelah 2 periode memimpin PBNU, dan jika kemudian diikuti oleh Ketua Umum PBNU sekarang, ini sangat baik dalam proses pengkaderan dan regenerasi organisasi. Jasa besar selama 11 tahun menjadi Ketua Umum PBNU, dan lebih dari 20 tahun sebagai pengurus PBNU, menjadi sangat determinant. Fondasi dinamika NU telah mengalami perbaikan dan kemajuan.
Beragam Wajah Kepemimpinan NU
Karena itu, saatnyalah diberikan peluang kepada kader-kader NU lainnya untuk memimpin jam’iyah ini. Karena sejak Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU tahun 1984, para ilmuan dan intelektual NU mulai menggagas perlunya proses regenerasi ini berlangsung dengan baik. Harapan mereka agar dalam setiap 10 tahun di NU muncul wajah baru sebagai pemimpin baru.
Soal gaya kepemimpinan memang tak harus sama. Misalnya ketika Kyai Ideham Chalid memimpin PBNU, ciri khas beliau adalah santun dan lemah lembut. Ciri khas lainnya dari tokoh NU asal Kalsel adalah suka membina PW dan PC, bahkan MWC. Di zaman beliau lah NU sangat berakar. Kenapa ? karena beliau selalu turun mendatangi kantong-kantong NU, dan mau turun langsung ke bawah mendatangi kader-kader NU.
Sebaliknya, di saat Gus Dur memimpin NU pada tahun 1984, pembawaannya cenderung konfrontative, khususnya dengan Soehato. Tetapi beliau punya cara lain yang sangat spektakuler, yakni melakukan penguatan kader NU di dunia akademis, sehingga banyaknya warga NU yang akhirnya bergelar doktor, magister, bahkan profesor seperti sekarang. Tokoh satu ini juga rajin mendatangi kantong-kantong NU.
Saat Kyai Hasyim Muzadi memimpin NU, ruang gerak NU semakin melebar. Di era ini selain pembinaan terhadap PW dan PC NU melalui koordinasi langsung ke daerah-daerah, Kyai Hasyim Muzadi juga memulai jaringan NU di tingkat dunia. Kejadian penyerangan Taliban terhadap alat-alat vital di Amerika Serikat, yang dikenal dalam peristiwa 11 September 2001, memunculkan antipati Barat kepada Islam. Menyikapi kondisi itu, maka Kyai Hasyim Muzadi bersama Kemenlu RI melakukan dialog perdamaian di tingkat dunia, yang dihadiri tokoh-tokoh dunia.
Kyai Hasyim Muzadi bahkan diundang PBB menyajikan materi tentang Islam rahmatan lil-alamin, yang selalu menggelorakan perdamaian. Mengingat positivenya langkah ini, maka NU membentuk PCI NU di sejumlah negara, yang hingga kini direspon secara oleh banyak.
Ketika Muktamar NU ke-32 tahun 2010 di Makasar, Kyai Hasim Muzadi menyatakan legowo, cukup 2 (dua) periode menjadi Ketua Umum PBNU. Muktamirin sepakat meyoritas mempercayakan kepada Kyai Said Agil Siraj. Doktor lulusan Umul Qura ini dikenal tegas jika sudah berhadapan dengan kaum radikal, dan kelompok Wahabi.
Sepertinya, proses penanaman nilai ini direspon dengan baik oleh hampir semua elemen NU. Hingga hari ini, kelompok-kelompok di negeri ini yang berani secara terbuka melawan kaum radikal dan Wahabi, umumnya elemen-elemen NU.
Keberhasilan Kyai Said ini tentunya harus diapreasi dengan baik, tidak saja oleh warga NU sendiri, melainkan juga umat Islam dan semua warga negara Indonesia. Jika disetujui publik harusnya ada semacam award bagi pemimpin muslim di negeri ini, yang berani konfrontative terhadap kaum radikal dan wahabi, yang oleh Kyai Said Agil dianggap potensial menjadi radikal.
Melalui Muktamar NU ke-34 ini nanti menjadi moment bersejarah bagi NU untuk memberikan contoh tauladan kepada rakyat di negeri ini, bahwa memimpin itu tak harus berlama-lama. Berikan kesempatan pada yang lain, meski dengan cara berbeda. Terlebih menyongsong NU Satu Abad, serta Indonesia Satu Abad, NU memerlukan energy baru untuk menjalankan roda organisasi. Jika Yenny Wahid, anak sulung Gus Dur, menyebut-nyebut nama Gus Yahya sebagai penerus generasi pemimpin NU, maka sejarah yang tak terlupakan telah ditoreh dengan “Pena Emas” oleh Kyai Said Agil Siraj, untuk mengantarkan kepemimpinan baru di tubuh NU secara damai dan elegan.
Wallahu’alam bis-shawab… !!
*) Penulis adalah Penggerak Kader NU di Kalimantan Selatan.
Baca Juga: NU Mendunia