Antara Sufi dengan Ahli Fikih, Antara Rasa dengan Logika

Bamua.co – Seorang ahli fikih sejati, tidak akan mendustakan pengalaman rasa/spritual yang terjadi pada orang lain. Ia hanya tidak percaya berdasarkan sebatas ilmu fikih yang dia punya. Sufi sejati memaklumi ahli fikih dikarenakan ahli fikih tidak merasakan apa yang ia rasakan dan ahli fikih pun memaklumi dengan si sufi dikarenakan hal tersebut hanya sebatas pengalaman pribadi si sufi.

Oleh : Ust. H. M. In’amul Hasan, Lc *)

IMG 20211114 WA0014 150x150 - Antara Sufi dengan Ahli Fikih, Antara Rasa dengan LogikaRasa dan logika erat kaitannya dengan subjektivitas terhadap sesuatu. Karena pada hakikatnya tidak ada kebenaran mutlak di luar sana seperti apa yang didengungkan oleh pecinta teori objektivitas kebenaran.

Mungkin membaca pernyataan barusan membuat urat-urat saraf emosi anda menggelayut menyeruakkan protes yang tak terkendali.

Dikatakan, objektivitas atau objektif dalam keilmuan berarti upaya-upaya untuk menangkap sifat alamiah (empiris) sebuah objek yang sedang diteliti/dipelajari dengan suatu cara di mana tidak tergantung pada fasilitas apapun dari subjek yang menyelidikinya.

Cobalah kita renungkan ungkapan “tidak tergantung pada fasilitas apapun dari subjek yang menyelidikinya”.

Apakah seorang manusia dapat menyelidiki objek di luar sana tanpa fasilitas dari manusia itu sendiri?

Bukankah panca indera, akal logika dan rasa adalah fasilitas manusia?

Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa objektivitas kebenaran itu tidak ada! Atau dengan kata lain, tidak ada objek yang terlepas dari pengaruh subjek.

Karena objektivitas kebenaran mutlak tidak ada, maka kebenaran itu sifatnya subjektif. Artinya kebenaran itu tergantung si subjek atau manusia itu sendiri.

Manusia yang dominan logikanya, dia akan mendekati objek di luar sana berdasarkan standar logika yang berada pada dirinya sendiri sehingga kebenaran akan diukur berdasarkan logikanya.

Manusia yang dominan dengan rasa/intuisi yang berada pada dirinya, dia condong mendekati objek di luar sana berdasarkan rasa yang berada pada dirinya sehingga parameter kebenaran baginya adalah rasa.

Lebih mendalam, coba kita lihat seseorang yang memakan nasi. Bagi orang sehat nasi mungkin terasa manis tapi bagi orang yang sakit mungkin akan terasa pahit. Artinya objek hakiki nasi itu tidak dapat diketahui terlepas dari andil manusia itu sendiri.

Jauh lebih mendalam lagi, seseorang yang jatuh cinta dengan mendalam ketika sakau dengan kekasihnya, mungkin dia melihat kekasihnya tersebut datang dan berpelukan dengannya. Ketika dia bercerita tentang kekasihnya yang barusan datang, mungkin orang-orang di sekelilingnya akan tertawa terbahak-bahak dikarenakan apa yang mereka saksikan melalui panca indera mereka, bahwa hal tersebut tidak terjadi.

Apakah ia yang jatuh cinta berdusta? Apakah orang-orang yang di sekeliling itu salah?

Orang yang jatuh cinta mengungkapkan cinta dengan bahasa rasa, sementara mereka yang di sekeliling mengungkapkan dengan bahasa logika pikiran yang bersumber dari panca indera mereka. Artinya ia yang jatuh cinta benar dengan apa yang ia ungkapkan berdasarkan pengalaman rasa yang ada pada dirinya dan mereka di sekeliling yang mendustakan pun juga benar berdasarkan dengan apa yang mereka saksikan, selama tidak sampai ke tahap mendustakan rasa yang terjadi pada ia yang jatuh cinta.

Oleh karena itu, jauh berbeda antara seseorang yang berkata “karena saya tidak melihat, maka saya tidak percaya” dengan seseorang yang berkata “karena saya tidak melihat, maka kau pasti dusta”. Yang pertama tidak percaya sebatas yang dia tahu berdasarkan penglihatannya misalnya, tapi dia tidak memastikan kemungkinan terjadinya kebenaran di luar itu semua. Sementara yang kedua tidak percaya dan telah memastikan ketidakmungkinan adanya kebenaran di luar sana.

Baik ia yang berdasarkan rasa atau mereka yang berdasarkan logika panca indera, kembali kepada subjektivitasnya masing-masing. Karena itu tidak ada masalah dari rasa dan logika tersebut, selagi sama-sama proporsional. Namun permasalahan muncul ketika pengalaman rasa itu dikemukakan di tempat orang banyak sehingga menyebabkan orang lain mendustakan pengalaman rasa yang terjadi pada dirinya.

Memahami hal ini mendatangkan manfaat yang besar bagi kita, karena kebanyakan perselisihan yang terjadi, meminjam istilah Syekh Abdul Wahab Asy Sya’rani, adalah perselisihan antara para pemula ahli fikih dan para pemula ahli tasawuf dikarenakan tidak memahaminya mereka akan hal ini.

Namun bagi tokoh sufi yang sudah mendalam dan terkontrol seperti imam Al Junaid al-Baghdadi, beliau tidak akan berbicara masalah pengalaman rasa kecuali kepada orang-orang tertentu saja. Sufi sejati seperti beliau tidak akan mengumbar pengalaman rasa dan spiritual di khalayak orang banyak, karena hal itu dapat menyebabkan orang lain mendustakannya. Begitu juga seorang pakar fikih sejati, ia tidak akan mendustakan pengalaman rasa/spritual yang terjadi pada orang lain. Ia hanya tidak percaya berdasarkan sebatas ilmu yang dia punya. Sufi sejati memaklumi ahli fikih dikarenakan ahli fikih tidak merasakan apa yang ia rasakan dan ahli fikih pun memaklumi dengan si sufi dikarenakan hal tersebut hanya sebatas pengalaman pribadi si sufi.

Kita rangkum tulisan ini dengan sebuah ungkapan:

Oh Qais karena kau umbar cinta, kau pun dituduh gila.

Qais menjawab, udzurku karena derasnya hujan cinta dan udzurnya karena tidak merasakan apa yang aku rasa.

Jadilah kau seperti Layla yang dapat memendam cinta, sehingga orang lain pun selamat dari petaka dan salah sangka.

Wallahul Muwaffiq ilaa Aqwamith Thoriiq.

*) Penulis adalah Pembina PC IPNU Alabio, Pengajar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih PP Asy-Syafi’iyah Alabio.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *