Bahtsul Masail di Banua; Antara Mimpi dan Harapan

Bahtsul Masail penting agar tidak semua orang begitu mudah mengeluarkan sebuah pendapat hukum fikih.  Dalam ajang adu pendapat ini akan terungkap, sejauh mana ketepatan sebuah referensi yang dijadikan argumen atas pendapat fikih yang dikeluarkan. Bisa jadi seseorang berpendapat menyimpang padahal referensinya benar, hanya karena pemahamannya yang menyimpang atas referensi tersebut. Bisa pula terjadi pendapat seseorang salah dalam meyikapi sebuah peristiwa hukum, hanya karena ia salah dalam mendefinisikan obyek hukum.

Oleh: Khairullah Zain *)

IMG 20200822 WA0044 1 150x150 - Bahtsul Masail di Banua; Antara Mimpi dan HarapanAda rasa syukur luar biasa berbaur haru menyaksikan antusias puluhan pesantren menghadiri acara Bahtsul Masail yang diselenggarakan LBM PCNU Kabupaten Banjar pada Kamis, 27 Januari 2022. Acara yang semula kami kira hanya akan dihadiri sedikit peserta, ternyata di luar dugaan. Aula gedung PCNU Kabupaten Banjar hampir tidak mampu menampung. Karena selain peserta, acara yang merupakan ciri khas NU ini juga dihadiri para pengurus Majelis Wakil Cabang NU Kabupaten Banjar dari berbagai kecamatan. Kami menangkap, ada kerinduan dari para kyai atas bangunnya tradisi yang telah lama “tidur” di banua kita ini.

Menelaah sejarah, Bahtsul Masail di tubuh organisasi NU usianya seiring dengan berdirinya organisasi tersebut. Pada kongres (kini bernama Muktamar) pertama NU tahun 1926, Bahtsul Masail sudah diselenggarakan.

Bahtsul Masail yang secara bahasa bermakna pembahasan masalah-masalah adalah ajang adu pendapat dan argumentasi dalam menyikapi suatu perbuatan yang membutuhkan jawaban hukum fikih. Di ajang ini, sebuah pendapat diuji dan argumentasinya diperdebatkan.

Bahtsul Masail penting agar tidak semua orang begitu mudah mengeluarkan sebuah pendapat hukum fikih.  Dalam Bahtsul Masail akan terungkap, sejauh mana ketepatan sebuah referensi yang dijadikan argumen atas pendapat fikih yang dikeluarkan. Bisa jadi seseorang berpendapat menyimpang padahal referensinya benar, hanya karena pemahamannya yang menyimpang atas referensi tersebut. Bisa pula terjadi pendapat seseorang salah dalam meyikapi sebuah peristiwa hukum, hanya karena ia salah dalam mendefinisikan obyek hukum.

Kecuali itu Bahtsul Masail juga akan melahirkan sikap moderat, serta terhindar dari sikap yang radikal dan mudah menyalahkan pendapat yang berbeda dengannya. Karena tidak jarang bahkan seringkali terjadi dua pendapat sama kuat argument dan referensinya, sehingga Bahtsul Masail berakhir dengan khilafiyah.

Memang, secara jujur kita akui, Bahtsul Masail yang barusan digelar ini masih sangat sederhana. Metodologi penggalian hukumnya pun masih sangat klasik, yaitu dengan menerapkan pola bermadzhab secara qauli (tekstual).

Namun, ini sudah sangat luar biasa mengingat tradisi ulama Ahlusunnah Wal Jamaah ini telah lama tertidur di banua kita. Bukan setahun dua, mungkin sudah puluhan tahun kita tidak mendengar adanya Bahtsul Masail. Kalaupun ada, hanya namanya saja Bahstul Masail, realitanya tidak.

Sementara, di Pulau Jawa tradisi Bahtsul Masail senantiasa terpelihara. Bahkan terus tumbuh dan berkembang. Metodologinya buhan hanya sebatas qauli, tapi sudah ke manhaji. Bahasannya buhan hanya waqiiyah (peristiwa aktual),  tapi juga qanuniyah (mengkritisi undang-undang dan peraturan pemerintah), bahkan maudhu’iyyah.

Sekedar contoh, dalam Muktamar NU yang berlangsung Desember 2021 silam di Lampung, Komisi Bahtsul Masail Maudhu’iyyah mengangkat topik bahasan status badan hukum di mata fikih, apakah bisa menjadi obyek hukum tersendiri yang berbeda dengan pemiliknya atau tidak. Karena kelak konsekwensi dari keputusan ini tidak sederhana. Ini akan berkaitan dengan kewajiban utang-piutang, zakat, waris, dan seterusnya. Sementara, Komisi Qanuniyyah membahas tentang RUU KUHP, UU Perubahan Iklim, juga tentang perlindungan terhadap pekerja rumah tangga, dan tentang amanat konstitusi di bidang agraria.

Saya pribadi berharap, kedepannya para kyai di banua kita harus juga tampil membahas masalah-masalah qanuniyah ini. Lewat Bahtsul Masail, kita bisa membahas Pergub, Perbub, Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten. Kita bisa mengkritisi pemerintah bila ternyata menurut kita aturan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan prinsip “Tasharruful Imam ‘Alal Raiyyah Manuuthun bil Mashlahat” (tindakan pemimpin atas rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan). Karena menurut Imam asy Syafi’i “Manzilatul Imam ‘alal Ra’iyyah Manzilatul Wali ‘alal Yatim” (kedudukan pemimpin atas rakyatnya seperti kedudukan wali terhadap anak yatim).

Karena kyai adalah ulama. Ulama adalah “ulil amr” bidang agama. Posisinya lebih tinggi dari pemerintah sebagai “ulil amr” bidang politik. Tentunya, ulama harus menjadi penasehat dan pengawas atas penguasa.

Tapi, harap dicatat, yang dimaksud ulama di sini adalah orang yang menguasai bidang ilmu, bukan sekedar yang punya banyak jamaaah dan pengikut. Yang sanggup ber-bahtsul masail untuk mempertahankan pendapat dan argumennya, bukan yang hanya berani bicara di majlisnya, namun takut pendapatnya diuji dan argumentasinya diperdebatkan.

Akankah harapan ini menjadi kenyataan?

*) Penulis adalah Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU Kalsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *