Fathul Kutub dan Teknologi Belajar

Kitab kuning sebagai media belajar khas pesantren tetap bertahan hingga hari ini. Namun seiring zaman yang berubah begitu cepat, akankah pesantren beradaptasi dengan teknologi belajar yang baru?

Oleh: Yunizar Ramadhani*)

Bertumpuk-tumpuk kitab klasik, buku-buku catatan, santri-santri putri yang hilir-mudik dari tumpukan kitab ke meja tulis, dan diskusi-diskusi. Demikianlah pemandangan yang menghiasi kegiatan Fathul Kutub di sebuah pondok pesantren tempat saya mengajar baru-baru ini.

Fathul Kutub (Membuka Kitab-Kitab) adalah sunnah (tradisi) pondok tahunan yang diperuntukkan bagi santri putri kelas akhir. Di dalamnya mereka mendapat tugas menelaah kitab-kitab klasik sebagai referensi dalam membahas masalah yang diberikan oleh panitia. Tujuannya tiada lain untuk memperkenalkan betapa kayanya khazanah keilmuan Islam.

Bahasan Fathul Kutub terdiri dari tiga materi (maddah) : Tafsir, Hadis dan Fiqih. Dari setiap materi tersebut panitia menyodorkan tiga masalah yang para santri putri harus bahas dalam tiga hari pelaksanaan (satu hari, satu materi). Mereka kemudian harus menuliskan bahasan masalah-masalah tersebut dan pemecahannya dalam suatu makalah – yang formatnya sudah tersedia – lalu mendiskusikannya bersama teman-teman mereka (semacam bahtsul masa`il).

Untuk mendapatkan sumber rujukan yang sesuai dengan masalah yang akan mereka diskusikan, para santri putri harus terlebih dahulu mengakses kitab Fath al-Rahman dan al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits. Kitab indeks al-Qur`an dan indeks Hadis Nabi SAW itu berfungsi seperti google search untuk mencari rujukan ayat al-Qur`an dan kitab mana yang memuat Hadis terkait topik bahasan.

Proses pencarian ayat dan Hadis tentunya akan menjadi lebih mudah dan efisien dengan menggunakan internet lewat komputer maupun ponsel pintar. Namun karena para santri dilarang menyimpan dan menggunakan gawai-gawai tersebut selama belajar dan hidup di dalam pondok – kecuali di laboratoritum komputer dan warung telepon pondok – kedua kitab itu menjadi andalan.

Selain itu, mencari ayat al-Qur`an dan Hadis lewat kitab Fath al-Rahman dan al-Mu’jam al-Mufahras akan memberi pengalaman yang berbeda ketimbang lewat ponsel pintar. Pengalaman emosional menikmati hasil karya para ulama dengan semangat man jadda wajada (siapa yang bersungguh-sungguh maka dapatlah ia) yang nampaknya ingin ditanamkan kepada para santri putri. Yang pasti, inisiatif itu menunjukkan bahwa pondok pesantren, baik tradisional maupun modern, akan tetap berusaha melestarikan tradisinya.

Akan tetapi tidak selamanya upaya itu berjalan mulus. Tak jarang dan tak sedikit santri putri kesulitan menemukan kitab yang memuat Hadis tertentu. Terbatasnya ketersediaan kitab Hadis dan umumnya kitab karya para ulama dan cendekiawan muslim, baik klasik maupun kontemporer, juga menjadi hambatan lainnya. Alhasil, waktu mengerjakan tugas lebih banyak tersita untuk mencari data. Semula dikira cukup, ternyata terasa sangat sedikit.

Menghadapi keadaan tersebut, guru-guru pembimbing akhirnya terpaksa membuka gawai-gawai pintar mereka. Dengan bantuan Google dan bahkan aplikasi Maktabah Syamilah, santri putri dan guru pembimbingnya berhasil menemukan sumber rujukan yang mereka perlukan dengan lebih cepat dan lebih mudah.

Mungkin itu hanya sekedar contoh kecil, tapi menyiratkan bahwa pada akhirnya kita tidak bisa menahan diri untuk tidak menggunakan teknologi digital berbasis internet. Kita berada di zaman dimana kehidupan menuntut kita untuk bergerak lebih cepat dan lebih kreatif. Untuk itu kitapun bergantung pada sarana komputer dan gawai-gawai pintar. Awalnya kita melawan (resistence) perubahan ini, tapi cepat atau lambat kita akan menyesuaikan diri untuk bertahan (resilience).

Sejarah menceritakan dulu pengetahuan tersebar dari mulut ke mulut. Namun sejak mesin cetak Guttenberg hadir, sebaran pengetahuan menjadi lebih cepat dan mencakup wilayah yang lebih luas. Lalu media baru ala Zuckerberg membuat orang mampu mengakses pengetahuan lebih cepat lagi dan dalam bentuk yang hampir sepenuhnya berbeda. Revolusi ini bahkan meruntuhkan otoritas lama dan kepakaran karena semua pengguna media bebas memproduksi pengetahuan.

Ajaran Islam juga mengalami pola sejarah serupa. Hadis Nabi SAW sebagai sumber hukum dan ajaran agama dulunya juga ditransmisikan secara lisan. Perpindahan pengetahuan Hadis itu kemudian dikenal dengan istilah “riwayah”.

Ketika kebutuhan akan adanya suatu konstitusi legal formal untuk mengatur masyarakat yang sangat besar mendesak para ulama dan penguasa untuk “membukukan” Hadis-Hadis. Pembukuan Hadis kemudian memicu lahirnya ilmu-ilmu Islam. Sejak saat itu, pengetahuan kita tentang ajaran Islam tersebar lewat kitab-kitab dan buku-buku yang kita warisi hingga saat ini.

Media baru kini menjadi fasilitas penyebaran ajaran agama. Tersedianya konten-konten islami, baik yang berasal dari sumber tradisional maupun modern, memudahkan orang secara bebas belajar agama.

Supriansyah dalam kolomnya Ngaji Online: Euforia Sesaat Budaya Digital Bulan Ramadan? (2020) mendedah bahwa pengajian daring merupakan bentuk daya tahan tradisi di belantara dunia maya. Sekalipun, ia juga memperingatkan pengajian daring dapat mengubah lanskap pengajian kitab kuning beserta tradisinya.

Tentu saja transmisi pengetahuan secara masif dan terorganisir terjadi dalam pendidikan. Untuk waktu yang cukup lama, guru dan murid menggunakan kitab-kitab dan buku-buku sebagai jembatan menuju pengetahuan ajaran agama. Namun hadirnya teknologi belajar yang baru telah mulai mengubah metode pembelajaran. Keadaan ini sudah kita saksikan sejak awal pandemi.

Bagaimana dengan pesantren? Kitab kuning sebagai media belajar khas pesantren tetap bertahan hingga hari ini. Namun seiring zaman yang berubah begitu cepat, akankah pesantren beradaptasi dengan teknologi belajar yang baru?

Saya masih ingat masa ketika masih nyantri. Dulu kami para santri sama sekali tidak boleh membawa dan menggunakan alat-alat elektronik. Sekarang kami memakai speaker – dalam pelajaran istima` atau listening – untuk belajar bahasa asing. Bahkan saat ini pesantren kami punya laboratorium bahasa. Dulu kami sibuk menelaah satu-persatu kitab kuning, sekarang dalam pengajian guru kadang menggunakan proyektor.

Demikianlah pesantren lambat laun akan beradaptasi dalam menggunakan teknologi belajar yang semakin maju. Pesantren akan dituntut benar-benar mengimplementasikan adagium al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah-nya. Boleh jadi akan tiba suatu masa ketika Pondok membolehkan santri membawa dan belajar agama dengan menggunakan ponsel atau tablet. Hanya saja saat ini belum ditemukan formula mengenai aturan penggunaannya.

Yang jelas, waktu takkan pernah bisa kita taklukkan. Kita akan tunduk pada perubahan-perubahan. Kegiatan Fathul Kutub di pesantren tempat saya mengajar tak bisa mengelak dari peran Google dan aplikasi Maktabah Syamilah. Bukankah kitab Fathur Rahman dan al-Mu’jam al-Mufahras adalah teknologi belajar juga di zamannya?

*) Penulis adalah Guru Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri Martapura.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *