Gus Dur dan Gerakan Amal Usaha NU
Kepada kami bertiga, Gus Dur berpesan, jadilah pioner dalam ber-NU. Bukan pengekor. Ini sudah dicontohkan para pendiri NU, di mana tokoh-tokoh NU itu sama-sama berkarya untuk umat. Tulus dan istiqomah. Sehingga tak ada perebutan jabatan, tak ada perebutan karya dan usaha.
Oleh : M. Syarbani Haira *)
SEKITAR tahun 1995 –kurang lebih setahun pasca Muktamar NU ke-29 di Cipasung Jawa Barat (1 – 5 Desember 1994) — Gus Dur (Allah Yarham) diam-diam hadir ke Banjarmasin. Tanpa banyak diketahui public, termasuk aparat negara dan media pers, Gus Dur mengisi peringatan Isra Mi’raj, di sebuah rumah ulama kondang (yang bersangkutan sudah almarhum, lahul fatihah), di kawasan Ratu Zaleha, Banjarmasin. Meski diam-diam, ternyata jamaah yang hadir melimpah, hingga ke jalan raya.
Saya yang dikabari ajudan Gus Dur dari Jakarta, mengajak dua aktivis PMII Kota Banjarmasin, masing-masing Haji Fauzian Noor (urang Halabiu) dan Haji Rakhmadi HB (urang Paringin) Keduanya juga sudah sama-sama almarhum, lahul fatihah. Usai acara, termasuk menikmati makanan malam di kediaman ulama kondang tersebut, Gus Dur kami bawa nginap di Hotel Batung Batulis.
Setiba di Batung Batulis, kami diskusi terbatas. Cuma berempat. Mulai dari masalah NU dan masa depannya, masalah Soeharto, masalah negara dan agama, serta masalah Islam, tentu saja. Pada tahun-tahun itu bagi Gus Dur sesungguhnya adalah merupakan tahun-tahun “berduka”. Kenapa ? Karena pada tahun-tahun tersebut beliau sangat di”musuhi” pemerintah orde baru, khususnya Soeharto.
Seperti diketahui, pada Muktamar NU ke-29 di Cipasung, Jawa Barat tersebut, Presiden RI Jenderal Soeharto menginginkan agar NU tak lagi dipimpin oleh Gus Dur. Kabarnya beliau menginginkan Abu Hasan (almarhum, lahul fatihah), seorang pengusaha kaya asal Sumatera, yang di NU sebagai Ketua LKK-NU (Lembaga Kesejahteraan Keluarga – Nahdlatul Ulama). Saat pemilihan Ketua Umum PBNU, selisih suara antara Gus Dur dengan Abu Hasan tidak jauh, 157 suara untuk Gus Dur vs 136 suara untuk Abu Hasan. Selebihnya ada 17 suara memilih dokter Fahmi Saifuddin dan 6 suara sisanya untuk Chalid Mawardi (Ketua Umum GP Ansor), semuanya sudah almarhum, lahul fatihah.
Kekalahan Abu Hasan tersebut tentu saja membuat Presiden Soeharto kecewa. Sejak itu, PBNU tak diterima oleh Istana Negara. Gus Dur bahkan dicekal kemana-mana. Untungnya, Gus Dur bisa tembus ke Banjarmasin. Saya menduga, intel-intel kala itu sudah maklum akan kehadiran Gus Dur. Namun sengaja membiarkan cucu pendiri NU itu bersilaturahim di kota Banjarmasin. Buktinya, sampai pulang, saat kami antar ke Bandara, Gus Dur aman-aman saja, bisa balik ke Betawi.
Masalahnya, PWNU Kalsel sejak tahun 1995 itu vakum. Kepemimpinan PWNU Kalsel, yang dinakhodai Prof. Dr. Zurkani Jahja (almarhum, lahum fatihah), dosen IAIN Antasari, dibekukan. Berulang kali dibentuk Tim Caretaker PWNU Kalsel, selalu gagal. Kenapa gagal ? Karena tak diakui pemerintah daerah. Situasi era orde baru beda jauh dengan era reformasi sekarang. Di era reformasi kebebasan terbuka lebar. Pemerintah tak punya hak mengatur ormas. Sementara di era orde baru, era Soeharto, jika negara tak mengakui, maka ormas apa pun tak bisa hidup. Kecuali menjadi kelompok klandenstein (gerakan bawah tanah), seperti yang terjadi di Timor Timur dan di sejumlah titik di negeri ini.
Kelompok klandenstein ini tergolong banyak, dan berhasil. Misalnya kelompok Tarbiyah, yang awalnya bergerak diam-diam. Begitu reformasi meletus tahun 1998, kelompok inilah yang menjadi motor penggerak PKS, hingga sekarang. Ada lagi pejuang khilafah, hizb ut-tahrir. Meski sudah dilarang sama negara, kelompok ini sudah bermetamorposa kemana-mana. Ada yang berpura-pura menjadi NU, menjadi Muhammadiyah, Wahabi Salafy, bahkan PFI (yang juga sudah dibubarkan itu). Hebatnya, Da’i-da’i mereka hingga hari ini masih lantang menyuarakan wajibnya menegakkan khilafah dan syariat Islam (darul Islam).
Gus Dur beruntung, dia tak pernah ditangkap negara. Meski demikian dia mendapat tekanan dahsyat, dan ruang geraknya cenderung dipersempit. Mirip-mirip Rhoma Irama, Sang Superstar Dangdut, lumayan lama tak bisa tampil di TVRI. Alhamdulillah Gus Dur bisa ke Banjarmasin, walau tak bisa pertemuan dengan sesame aktivis NU. Malam itu hanya dengan kami bertiga yang mendapatkan wejangannya.
Melalui kolom pendek ini, saya tak akan menceritakan semua wejangan Gus Dur. Saya hanya ingin berbagi soal NU, yang menurut beliau NU masih sangat prospective. Saya sempat heran dengan optimisme Gus Dur tersebut, karena ada sahabat Gus Dur yang sama-sama pernah nyantri di Al-Azhar, Mesir, yang kemudian menjadi pimpinan di IAIN Antasari, yang menyimpulkan jika NU itu is death. Itu sebabnya ketika generasi penerusnya meneruskan studi di sebuah perguruan tinggi, anaknya memilih active di HMI, bukan di PMII sebagaimana sejarah ayahnya yang menjadi salah satu pendiri PMII. Sayang tokoh NU tersebut wafat sebelum reformasi, di mana Gus Dur malah menjadi Presiden RI. Ini berarti tesisnya NU is death menjadi jauh dari bumi dengan langit.
Konflik NU, mengakibatkan Gus Dur pernah berwacana agar jabatan Ketua Tanfidziah itu dihilangkan saja. Kenapa ? Karena menurut Gus Dur kerapkali Ketua Tanfidziah selalu mengalahkan Rais Syuriah. Maka itu menjelang Muktamar NU ke-29 di Cipasung itu sempat tak ada wacana calon Ketua Umum PBNU. Untungnya wacana itu tak berlanjut, sehingga Ketua Umum Tanfidziah hingga kini masih ada. Ke depan, lembaga ini sepertinya akan tetap ada, kemungkinan yang akan berubah hanya system pemilihannya, tidak lagi model sekarang, one delegation one vote.
Hal lain yang sangat disesalkan oleh Gus Dur banyaknya kader-kader dan aktivis NU itu yang tak innovative. Juga tidak kreative. Gus Dur kemudian memaparkan sejumlah kasus, di mana ada konflik NU karena soal yang sangat remeh temeh. Gus Dur menceritakan ada kepemimpinan NU yang mau enaknya saja, tak mau capek, dan tak mau kerja. Model ini ia temukan di beberapa tempat, di mana Pengurus NU terdahulu sudah memberikan contoh nyata, berkarya nyata untuk umat. Misalnya ada yang mendirikan pesantren, majelis taklim, balai kesehatan, bahkan perguruan tinggi, dan lain sebagainya. Belakangan ada pendatang, atau pengurus NU baru justru ingin mengambil alih dari pengelola sebelumnya. Harusnya, kata Gus Dur, kalau mau berkarya bukan dengan cara mengambil hasil karya orang lain, karya orang sebelumnya, melainkan harus berkarya dengan keringat sendiri. Itu lebih NU, karena di situlah semangat ber-NU, tandas Gus Dur.
Maka itu kepada kami bertiga, Gus Dur berpesan, jadilah pioner dalam ber-NU. Bukan pengekor. Ini sudah dicontohkan para pendiri NU, di mana tokoh-tokoh NU itu sama-sama berkarya untuk umat. Tulus dan istiqomah. Sehingga tak ada perebutan jabatan, tak ada perebutan karya dan usaha. Banyak kaidah ushul fiqh kata Gus Dur yang memberikan dorongan agar kader-kader NU itu harus berlomba-lomba untuk menjadi pioneer dalam membangun amal usaha keummatan.
Gus Dur menambahkan, terlalu banyak ruang kosong yang masih bisa dilakukan, dikerjakan, dan itu sangat diperlukan oleh NU serta warganya. Persoalan SDM di lingkungan NU, persoalan asset, ekonomi, saint dan teknologi, dan sebagainya. Kenapa tokoh-tokoh NU yang banyak, yang hebat-hebat, yang sudah terdidik, dan lebih beruntung dari pada kader-kader NU di desa-desa, ruang kreasinya malah zero. Justru yang terjadi malah konflik sesame NU, hanya karena ada perebutan terhadap ruang-ruang kosong.
Pesan Gus Dur itu kini kembali muncul dalam bayangan nyata, padahal momentnya sudah lebih dari 25 tahun silam. Padahal dari dulu saya sangat optimistic pada hampir semua orang, yang kemudian diajak ber-NU, dalam sebuah keyakinan, yang tulus dan istiqomah dalam ber-NU. Bagaimana pun pesan dari para muassis NU, agar syiar NU pengawal Islam ahlussunnah wal-jama’ah, harus digelorakan. Merujuk al-Qur’an, surah Ali Imran ayat 104 – 110, atau An Nahl ayat 125, maka semua orang bisa diajak ber-NU, sekaligus berkarya nyata.
Saya meyakini, orang-orang yang tulus, dan orang-orang yang istiqomah, pasti akan mendahulukan kemaslahatan umat. Menjauhi aspek mudharat. Ini perintah al-Qur’an. Sungguh sangat ironi, jika nilai-nilai (values) seperti itu justru sudah luntur entah kemana ? Maka itu, ke depan, seperti harapan Gus Dur, kita semua tentu berharap, agar para tokoh, elite, kader, aktivis, bahkan pimpinan NU di semua lapisan, agar mau mendengarkan dan melaksanakan pesan-pesan yang konstruktive dari tokoh dunia yang dibanggakan oleh NU ini. Sehingga pada saatnya, kita termasuk manusia yang disebut sebagai “khaira ummah”, sekaligus “anfa’uhum li an-naas”. Jadilah tokoh NU yang baik. Aamin ya Rabbal alamin … !!!
*) Penulis adalah Ketua Dewan Syuro Mesjid Kampus As-Su’ada, Syekh Abdul kadir Hasan, Universitas NU Kalsel
Baca Juga: Mimpi Bertemu Gus Dur dan Abah Guru Sekumpul, Ini Tafsirnya!