Memelihara Semangat Ke-Jamaah-an Nahdlatul Ulama

Jam’iyah diniyah an-nahdliyah, yang bernama Nahdlatul Ulama atau disingkat NU, adalah organisasi yang dibesut para ulama, dan para auliya. Karena dikelilingi para ulama dan auliya, maka perjalanan NU selalu survive. Era Orde Lama misalnya, NU bisa selamat setelah berijtihad menerima NASAKOM, pikiran politik Presiden Soekarno yang ingin memadukan antara kaum nasionalis, agamis, dan komunis.

Oleh : M. Syarbani Haira *)

IMG 20200406 105550394 1 150x150 - Memelihara Semangat Ke-Jamaah-an Nahdlatul UlamaDi kalangan para aktivis, pimpinan dan keluarga besar NU, kini begitu popular ucapan “wallahul muafiq ila aqwamith thorieq”. Istilah ini digunakan, laki-laki atau perempuan, ketika akan mengakhiri pidato, sambutan, atau sejenisnya. Termasuk akan mengakhiri naskah surat-menyurat, resmi atau tidak resmi. Mereka yang sudah familier dengan istilah NU ini, dipastikan ia akan mampu melakukannya tanpa canggung. Ia bisa mengucapkan dengan lantang, dan sempurna. Sedang mereka yang tak familier, pasti terasa akan kaku, bahkan tak jarang terjadi kesalahan. Makna dari istilah ini adalah : “Allah adalah Dzat yang memberi petunjuk ke jalan yang selurus-lurusnya”.

Pada awalnya, tokoh-tokoh dan aktivis Nahdlatul Ulama jika akan mengakhiri sambutan atau pidatonya, termasuk mengakhiri surat-menyuratnya, selalu menggunakan istilah “billahit taufiq wal hidayah”. Menjelang Pemilu pertama di negeri ini tahun 1955, hampir semua aktivis dan tokoh partai, berikut juru kampanyenya, menggunakan istilah ini. Maka itu para kyai NU merasa perlu menggunakan istilah lain yang menjadi ikonnya NU. Menurut Gus Dur, istilah ini mulai diterapkan di lingkungan NU pasca Pemilu pertama Orde Baru tahun 1971. Karena selama musim kampanye tersebut banyak tokoh-tokoh partai di luar NU yang menggunakannya.

Adalah KH Ahmad Abdul Hamid, tokoh khatismatis NU (lahir 1915 dan wafat 1998), pengasuh Pondok Pesantrern al-Hidayah, Imam Besar Mesjid Kendal, dan Rais Syuriah PCNU Kabupaten Kendal (Jawa Tengah), yang merasa bersemangat membuat istilah baru untuk keluarga besar NU. Sengaja dicari istilahnya yang lebih sulit ditirukan, agar bisa terlihat siapa NU murni, dan siapa NU inde-kost-an. Nyatanya berhasil. Sehingga siapa pun yang mau menggunakan ikon NU itu perlu latihan. Belakangan sejumlah tokoh berhasil melakukannya, misalnya tokoh Golkar Abdullah Puteh, saat beliau dilantik menjadi Gubernur Aceh tahun 2000. Selain itu, Menteri Kehakiman RI Yasonna H Laoly juga bisa melafalkannya.

KH Ahmad Abdul Hamid sendiri pernah menduduki jabatan tertinggi sebagai Mustasyar di PBNU. Sebelumnya beliau sempat menjadi Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah (dengan Katib Syuriah KH Sahal Mahfudz, mantan Rais ‘Am PBNU 2004 – 2014). Lahul fatihah buat kedua tokoh NU ini. Kyai Hamid penggagas Gedung PBNU berlantai 9 sekarang, juga penggagas document-dokument NU yang berserakan. Beliau penulis sejumlah kitab, di antaranya yang popular, buku-buku amalan warga NU yang diterbitkan penerbit terkemuka di Semarang (era dulu). Tak hanya, selain ulama beliau juga olahragawan, dan negara pernah menugaskan beliau sebagai pembawa api obor PON Mrapen

Pelajaran Berharga bagi Nahdlatul Ulama.

Jam’iyah diniyah an-nahdliyah, yang bernama Nahdlatul Ulama, adalah organisasi yang dibesut para ulama, dan para auliya. Karena dikelilingi para ulama dan auliya, maka perjalanan NU selalu survive. Era Orde Lama misalnya, NU bisa selamat setelah berijtihad menerima NASAKOM, pikiran politik Presiden Soekarno yang ingin memadukan antara kaum nasionalis, agamis, dan komunis. Masyumi yang menolak ide ini, akhirnya is death, selama-lamanya. Sebuah partai Islam sempat dirayu Soekarno agar menerima, dan sudah oke. Tetapi NU diajak duluan bergabung, cuma diberi waktu 3 hari untuk memutuskan. Kyai Wahab Hasbullah langsung memanggil Ketua Umum PBNU Kyai Idham Chalid. Kyai Wahab bilang singkat : “jangan bertarung di luar gelanggang”. Ternyata tokoh NU asal Banua itu memang cerdas, beliau datang menemui Soekarno, menyatakan siap menerima konsep ini. Tetapi itu hanya taktik, NU tetap membentengi negara dari kekuatan PKI, sampai Gerakan 30 September 1965 meletus. NU pun akhirnya didepan melawan PKI. Alhamdulillah NU selamat, tidak dibubarkan.

Begitu juga era Orde Baru. Awalnya NU menolak Asas Tunggal Pancasila tahun 1984 saat Muktamar NU di Situbondo, Jatim itu. Tetapi Kyai As’ad Samsul Arifin, ulama NU kharismatis dari Situbondo, ngeyel. Termasuk ketika ditanya muktamirin, siapa yang bertanggung-jawab kepada Allah SWT jika menerima Pancasila ? Kyai As’ad menjawab pendek : “Saya yang bertanggung-jawab”. Ini ijtihad, ijtihad politik dan ijtihad agama. Karena menerima Pancasila sebagai Azas Tunggal, NU pun lagi-lagi selamat.

Muktamar NU di Tasikmalaya tahun 1994 kembali NU diselamatkan. Kala itu, Presiden Soeharto sangat tak suka sama Gus Dur, Ketua Umum PBNU. Jenderal Soeharto sudah memerintahkan pasukannya untuk menghabisi Gus Dur di NU. Nama yang mereka unggulkan Abu Hasan, MA, seorang pengusaha kaya asal Sumatera. Ia dekat dengan istana. Sejak muktamar NU di Semarang, Abu Hasan sudah bisa masuk ring satu Gus Dur. Akhirnya yang bersangkutan dipercaya menjadi Ketua LKK NU. Mengingat uangnya tak berseri, Abu Hasan bisa kemana-mana bagi-bagi duit. Hal ini membuat sejumlah PCNU terpesona. Tak heran selisih suara Gus Dur dengan Abu Hasan cuma 21 suara, rinciannya Gus Dur 157 vs 136 Abu Hasan. Sisanya 17 untuk Fahmi Saifuddin, serta 6 suara buat Chalid Mawardi. Lagi-lagi NU diselamatkan.

Elite Nahdlatul Ulama Harus Orang Tulus dan Baik

Pada kasus local, masalah-masalah ke-jam’iyah-an terus bermunculan. Misalnya, belakangan banyak telepon yang masuk ke saya, mempermasalahkan, ada juga yang manumpalak, ketika ada orang-orang yang sebelumnya saya percaya untuk ikut terlibat mengelola Universitas NU Kalsel, yang didirikan tahun 2014. Mulai 2020 saya memang sudah melepas jabatan-jabatan penting, dengan memberikan kepercayaan pada mereka yang saya kira memahami kultur ke-NU-an. Ironisnya, di tengah adanya kekacauan tata kelola kampus, orang-orang ini berikrar untuk menganulir eksistensi saya. Mereka memutuskan sendiri apa yang mereka inginkan, dan mereka melaksanakan apa yang mereka harapkan. Tak ada lagi kultur ke-NU-an, seperti dialog, musyawarah, dengan melibatkan tokoh-tokoh yang mengerti betul ruh ideologi ber-NU. Mereka bahkan menyebarkan informasi yang tak berdasar ke banyak pihak, termasuk ke PBNU. Ini semata agar mereka bisa menguasai kampus seutuhnya.

Secara formal legalistic, saya sudah tak punya power. Karena itu menyikapinya hanya dengan do’a saja. Saya yakin, seperti optimismenya Allah Yarham Ayatullah Khomeini, pemimpin Revolusi Iran tahun 1979, melawan rezim Shah Riza Pahlevi, yang mengutip surah al-Isra ayat 81 : “The truth has come, and falsehood has vanished. Indeed, falsehood is bound to vanish”. Saya optimis akan dikabulkan. Saya berharap sahabat-sahabat aktivis dan tokoh Nahdlatul Ulama, yang memiliki kesadaran meluruskan kekeliruan yang terjadi. Sesuai wewenang yang dimiliki masing-masing. Jangan sampai culture negative terus menyertai perjalanan lembaga NU, terlebih lembaga pendidikan tinggi seperti Universitas NU ini.

Kondisi ini juga menjadi moment, introspeksi diri bagi para aktivis NU original, agar ke depan tak lagi dengan mudah percaya pada mereka yang tak faham kultur Nahdlatul Ulama. Karena dalam ber-NU itu banyak istilah ke-NU-an yang tak difahami. Perjuangan NU ini adalah perjuangan agama, syiar Islam Ahlussunnah wal-jamaah. Ada ironi di public, seseorang sudah dianggap NU, jika kemana-mana tampil dengan simbol-simbol NU. Adalah ironis jika jam’iyahnya NU, tetapi mandset kesehariannya bisa sekuler, athies, atau komunis –sesuatu yang sejak dulu sangat dijaga oleh para kyai NU. Tak hanya itu, dalam NU juga menjadi aneh jika ada jamaa’ahnya yang memiliki mandset Syi’ah, Wahabi, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dsb. Bagaimana pun sejarah NU yang lahir tanggal 16 Rajab 1344, bertepatan 31 Januari 1926 itu adalah untuk memelihara umat Islam di negeri ini agar tak terkomtaminasi pikiran-pikiran aliran trans-nasional.

Maka itu regulasi yang pernah dibangun NU (yang konstruktive) harus ditegakkan. Bahwa ada satu atau dua, bahkan lebih praktek keliru di lingkungan NU, itu bukan berarti harus dijadikan rujukan. Karena kekeliruan itu personal, meski kadang menjadi kolektive. Tetapi kebenaran harus ditegakkan. Aturan-aturan yang ada pun harus kita sendiri yang menjunjungnya. Dengan semangat yang tinggi, kita yang hari ini mengemban amanah menjaga dan merawat NU (dalam struktur apa pun) tentu harus konsisten merawatnya. Jangan pernah kita membiarkan orang jahat, berniat buruk bisa leluasa menjadi elite NU. Masalah ke-jamaah-an ini harus dihadapi dengan sikap yang tegas. Jika tidak, maka upaya menjadikan NU sebagai poros peradaban dunia, seperti harapan Ketua Umum PBNU hasil muktamar NU ke-34 di Lampung tahun 2021 lalu, Kyai Yahya Cholil Staquf, akan sia-sia. Wallahu a’lam bissawab … !!

*) Penulis adalah Ketua Dewan Syuro, Badan Pengelola Mesjid Kampus As-Su’ada, Syeikh Abdul Qadir Hasan, Universitas NU Kalsel, Jl Ahmad Yani, KM 12.5, Kalimantan Selatan.

Baca Juga: Gus Dur dan Amal Usaha Nahdlatul Ulama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *