NU Di Tengah Pertarungan Kebudayaan
Sayangnya, budaya kita yang masih sangat paternalistik. Maka itu, kepemimpinan NU menjadi terfokus hanya pada seorang Ketua Tanfidziah saja. Akibatnya keputusan ketua menjadi keputusan lembaga, sesuai tingkatannya.
Oleh : M Syarbani Haira *)
Kepemimpinan PBNU di bawah duet Rais ‘Am Syuriah Kyai Miftahul Achyar dengan Ketua Umum Tanfidziah Kyai Yahya Cholil Staquf, periode 2022 – 2027 hasil muktamar Lampung akhir tahun 2021 lalu, dalam banyak narasi yang muncul dan berkembang, dihadapkan pada keinginan yang luar biasa, agar NU sebagai jam’iyah bisa keluar dari beragam handicap dan tantangan yang selama ini masih mengelilingi rotasi dan perjalanan yang sudah mengakar dan terkonstruksi di dalam bangunan lingkungan kultur NU itu sendiri.
Kultur NU adalah berupa kebiasaan-kebiasaan, dan kekuatan-kekuatan yang sejak dulu telah membersamai perjalanan NU sebagai jam’iyah, yang kemudian melekat kuat, seolah-olah itu sudah benar, dan tak ada kesalahan normative. Fenomena ini meneguhkan adagium lama, sesuatu yang sudah menjadi habit atau kebiasaan, yang kemudian kerapkali dilegalkan, walau pun tak semuanya benar, atau bahkan malah justru merupakan sebuah kesalahan.
Kultur ini dalam perkembangannya kemudian telah mengkonstruksi di dalam sebuah bangunan, yang kemudian dihayati dan dinikmati oleh jama’ahnya, sehingga apa yang telah mereka lakukan di dalam jam’iyah NU dirasakan oleh mereka sebagai sesuatu yang akhirnya dirasakan menjadi benar. Tak aneh jika kemudian, sesungguhnya aktor-aktor NU itu lantas melakukan kekeliruan-kekeliruan, tetapi dalam perspektive mereka saja, namun muncul asumsi sesungguhnya merekalah yang paling benar.
Ide Genuine Ketum PBNU
Konstelasi salah kaprah tersebut ditemukan di banyak tempat, hatta di banua kita tercinta ini. Itu dirasakan betul oleh Ketua Umum PBNU Kyai Yahya Cholil Staquf saat beliau menjadi Katib ‘Am PBNU. Sehingga dalam setiap narasi wacana ke-NU-an, beliau lantang menyuarakan reformasi struktur di lingkungan NU.
Agenda besar programnya adalah pemantapan peradaban. Bahkan pada level dunia. Untuk menyongsong pembangunan peradaban dunia tersebut, tentunya harus didahulu revolusi internal di lingkungan NU sendiri. Dalam konteks ini, NU masih bertarung dengan culture, lokal atau nasional. Secara nasional, Gus Yahya kerap menyebut “budaya” membuka lapak oleh sebagian aktor NU. Lapak-lapak yang sempat berkembang di lingkungan NU itu, ada yang terkait dengan ekonomi, politik, kekuasaan, vested interest lainnya, dan lain sebagainya. Tentu saja lapak-lapak tersebut tak selamanya negative, ada juga lapak yang positive. Misalnya lapak peradaban, lapak knowledge, saintic, kaum profesional, serta NGO-NGO yang pure berkarya dan berbuat untuk umat.
Untuk membangun peradaban tersebut, tentu saja tidak hanya menjadi tanggung-jawab PBNU. Melainkan harus simultan, ya PWNU, PCNU, MWC NU, Ranting NU, bahkan semua elemen yang ada di NU. Apalagi kita berada dalam kawasan nusantara, sehingga kerjasama NU dari Sabang hingga Merauke, menjadi diterminant. Itu harusnya dimiliki oleh elite-elite NU, baik Syuriah mau pun Tanfidziah.
Kebudayaan Paternalistk
Sayangnya, budaya kita yang masih sangat paternalistik. Maka itu, kepemimpinan NU menjadi terfokus hanya pada seorang Ketua Tanfidziah saja. Akibatnya keputusan ketua menjadi keputusan lembaga, sesuai tingkatannya. Hatta seorang Rais Syuriah sekali pun, apalagi hanya seorang Katib atau wakil-wakil rais dan wakil-wakil katib lainnya, meski dalam struktur posisi mereka tertinggi dalam pengambilan keputusan, eksistensinya itu menjadi tak berarti lagi.
Praktek model paternalistik inilah yang kemudian mengantarkan pada sebuah keadaan. Misalnya, karena ada rasa sungkan, rasa kada nyaman, kada hukon bahual. Ini terlihat jika sedang ada perbedaan pandangan, bahkan ada perdebatan berbeda dalam mengantarkan perjalanan jam’iyah. Selain karena faktor kada nyaman, bisa jadi juga karena faktor ketidak-fahaman. Sehingga jika misalnya jam’iyah NU itu hinip berbulan-bulan, elite utamanya kada suah kelihatan, jamaahnya hepy-hepy saja. Nyaman-nyaman saja. Tak ada yang protes.
Sepertinya, betul kata banyak pengamat, bahwa NU itu baru akan ramai dalam 3 (tiga) event. Pertama, saat menjelang muktamar. Ini moment yang luar biasa, kantor NU bisa setiap saat ramai, didatangi. Baik oleh mereka yang ingin hadir ke muktamar, atau oleh tim-tim tertentu yang ada kepentingan khusus.
Begitu juga menjelang saat konferwil atau konfercab. Ini yang ke-dua. Buktinya, kerapkali ada pertemuan sesama aktivis NU. Di rumah atau di warung sekali pun oke-oke saja, karena kantor emang tidak punya. Kemudian yang ketiga, NU akan menjadi lebih ramai jika menjelang pilpres, pileg dan pilkada.
Bagi saya pribadi, untuk saat ini, okelah NU hanya ramai karena imbas udara politik itu. Tetapi internal NU tetap jalan. Ada kegiatan rutin, mingguan, bulanan, dan sebagainya. Amanah NU itu namanya sudah berjalan. Kantor NU pun ndak pernah sepi, karena memang harus dimakmurkan. Tugas elite NU selain mengendalikan roda organisasi, ya memakmurkan NU.
Kepemimpinan Tanfidziah NU Kalsel saat ini adalah orang hebat, dengan nakhoda tanfidziah-nya, Dr. KH. Hasib Salim. Saat mahasiswa ia sudah menjadi Ketua PW IPNU Kalsel. Dalam usia muda sudah menjadi Ketua PCNU di HSU. Bahkan lebih dari 2 (dua) periode. Ia juga menjadi birokrat, antara lain Kepala Dinas Pendidikan. Ia politisi, 2 (dua) kali ikut bertarung di Pilkada HSU. Kini bahkan sudah menjadi wakil rakyat, anggota DPRD Kalsel dari Fraksi PDI Perjuangan.
Artinya Doktor Hasib Salim ini di atas rata-rata orang NU, karena dia juga seorang ulama, lulusan pondok dan IAIN, yang kini menjadi dosen di STIQ Komplek Rakha Amuntai. Bahwa yang bersangkutan menjadi Ketua PWNU Kalsel karena PAW, menggantikan Haris Makkie yang mundur karena mencalonkan diri menjadi Walikota Banjarmasin pilkada lalu, itu soal lain. Secara personal kompetensinya hebat.
Persoalannya mampukah seorang Hasib Salim itu mengantarkan NU ke dunia yang oleh Ketua Umum PBNU menjadi gerbang peradaban dunia. Ini satu persoalan. Untuk mencapai tujuan tersebut, kesiapan internal jam’iyah menjadi urgen. Kemampuan memilah kebudayaan yang sudah terlanjur hidup dan berkembang di lingkungan NU, antara kebudayaan yang positive dan negative, itu sangat diperlukan. Jangan sampai seorang elite NU lebih mengakomodasi kebudayaan negative, dan menolak kebudayaan yang positive.
Apa pun alasannya, seorang elite NU itu tetap berpikir seperti pesan Allah SWT dalam al-Qur’an, yakni: “ta’muruna bil ma’ruf, sekaligus wa yanhauna ‘anilmunkar“. Bukan sebaliknya. Karena pertanggung-jawaban jam’iyah itu (sesuai regulasi yang ada) bukan saja di institusi, tetapi juga di perilaku dan perbuatan serta amal-amal kita. Bukankah orang ber-NU itu meneruskan pesan-pesan pendiri dan penerusnya, yakni mengelorakan dakwah ahlussunnah wal-jamaah.
Dalam konteks ini, meski tak harus konfrontative, kita harus bisa melawan kebudayaan negative di NU. Bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk, sekaligus bisa bersikap terhadap hal-hal yang memunculkan permasalahan kelembagaan. Misalnya sengaja ingin menunda-nunda agenda konferensi wilayah, atau yang lainnya. Wallahu’alam bissawab.
*Penulis, pengamat dan aktivis sosial
Baca juga: Inilah Rekomendasi Muktamar NU Ke-34 Di Provinsi Lampung