Kaum Sufi dan Mindset Beragama
Kaum sufi dalam mengarungi lautan kehidupan ini mempunyai pemikiran yang sangat jauh ke depan, menembus batas ruang dan waktu dunia sampai ke akhirat atau bahkan sampai kepada Allah Swt.
Oleh: H. M. In’amul Hasan, Lc *)
Kita sering salah kaprah karena beranggapan kalau sufi itu adalah orang yang rajin dan tekun beribadah di tempat-tempat sepi. Pergi meninggalkan usaha dan pekerjaan mengasingkan diri di tempat-tempat sunyi beribadah kepada Allah Swt.
Ssejatinya orang yang seperti itu adalah abid atau ahli ibadah yang tidak jarang akan berujung ke neraka karena disesatkan setan, kalau ia tidak dibekali dengan ilmu yang memadai.
Mindset Kaum Sufi
Seorang sufi dalam menjalani kehidupan di alam semesta ini menggunakan mindset tersendiri yang berbeda dengan kalangan umum. Sementara kalangan umum kebanyakannya menjalani hidup di alam ini menggunakan mindset atau pola pikir ala fikih, yaitu bertumpu pada fenomena yang nampak.
Istilah populer yang menjadi pegangan mereka adalah:
نحن نحكم بالظواهر والله يتولى السرائر
Kita menghukumi hanya sebatas fenomena zhahir dan Allah menangani yang rahasia.
Sementara kaum sufi, mereka mempunyai slogan lain, diantaranya:
العبرة بالمضامين لا بالعناوين
Yang menjadi parameter itu adalah esensi sejati bukan sekedar tanda-tanda yang nampak (zhahir).
Oleh karena itu, kalau madu dibungkus dengan bungkusan dan merek racun, kalangan dzahir akan mengatakannya adalah racun. Namun bagi kaum sufi, bungkus dan merek itu bukanlah parameter yang menentukan isi.
Isi harus ditelaah dengan benar dan kalau ternyata isinya adalah madu, maka apalah arti sebuah nama dan merek.
Kemudian, seorang sufi itu tidak dikatakan sufi kalau ia tidak pernah memperdalam fikih. Bagi seorang sufi, fenomena zhahir itu sudah lewat dan mereka tidak bercukup dengan fenomena itu saja. Kaum Sufi masuk jauh ke dasar lautan esensi.
Tidak heran kita temukan seorang ulama sekelas syekh Abdul Wahab Asy Sya’roni mengatakan:
الصوفي فقيه عمل بعلمه
Sufi sejati itu adalah pakar fikih yang mengamalkan dengan ilmunya.
Dengan mengamalkan ilmunya tersebut, akhirnya Allah beritahukan kepadanya rahasia-rahasia sesuatu.
Seorang sufi bukan sekedar hanya terpaku dan bercukup dengan zhahir syariat saja tetapi menggabung dengan hakikat.
Itulah bagian pertama mindset kaum sufi dalam mengarungi lautan kehidupan ini. Yaitu selalu menitikberatkan kepada esensi sesuatu bukan kepada dzahir sesuatu saja.
Selanjutnya, mindset kaum sufi dalam mengarungi lautan kehidupan ini adalah mempunyai pemikiran yang sangat jauh ke depan menembus batas ruang dan waktu dunia sampai ke akhirat atau bahkan sampai kepada Allah Swt.
Oleh karena itu, sering seorang sufi itu dalam melakukan ibadah bukan karena ingin surga apalagi karena kesenangan dunia. Hal itu karena jauhnya pikirannya menembus dunia.
Untuk lebih mudah dalam memahami jauh pendeknya pemikiran seseorang, marilah kita perhatikan perumpamaan sepele berikut ini, namun mempunyai hikmah yang sangat besar.
Bagi anak-anak, mobil mainan itu sangat berharga tetapi bagi orang dewasa mobil mainan tidaklah terlalu berharga atau bahkan tidak berharga sama sekali.
Bagi orang dewasa mobil benaran seperti Inova, Alpard dan Lamborghini lah yang berharga. Sementara mobil mainan bagi orang yang dewasa tidak lah berharga.
Kalau kita bertanya kenapa bisa demikian? Jawabannya karena jangkauan pemikiran anak-anak masih pendek, sementara jangkauan pemikiran orang dewasa jauh ke depan.
Oleh karena itu, dapat kita rinci pikiran seseorang dalam konteks amaliah sebagai berikut:
- Bagi anak-anak yang pemikirannya sangat pendek, ia beramal agar dapat dunia main-mainan.
- Bagi orang dewasa yang pemikirannya cuma sampai dunia, adakalanya ia beramal untuk kesenangan besok hari, lusa atau untuk hari tua. Dan bagi dia mobil main-mainan tidaklah berharga. Dan yang berharga adalah mobil benaran seperti Lamborghini.
- Bagi seseorang yang pemikirannya sampai ke akhirat, ia akan beramal untuk kebahagiaan di akhirat yaitu masuk surga. Dan bagi dia kesenangan dunia seperti mobil Lamborghini tidaklah berharga.
- Bagi seseorang yang pemikirannya sampai kepada Allah, surga tidaklah berharga. Artinya bagi orang yang pemikirannya sampai ke akhirat, mereka yang beramal karena kesenangan dunia itu masih kelas anak-anak meskipun usianya sudah kakek-kakek.
Bagi seseorang yang pemikirannya sampai kepada Allah Swt, mereka yang beramal agar dapat masuk surga itu masih kelas anak-anak meskipun usianya sudah datuk-datuk.
Perlu diketahui, keikhlasan seseorang itu mengikut kepada sejauh mana pemikirannya. Dengan kata lain, kemurnian dan kejernihan keikhlasan seseorang itu mengikuti sejauh mana rodal nuklir pemikirannya sampai. Karena tidak tergambar seseorang dapat ikhlas karena Allah Swt kalau pemikirannya cuma sampai dunia saja.
Oleh karena itu, sering kita temukan dari referensi kitab-kitab klasik, kalau seorang sufi itu dihina mereka malah berterimakasih atau bahkan malah memberi imbalan kepada penghinanya. Karena baginya, orang yang menghina itu menghibahkan pahala hasil jerih payah amaliyahnya dengan gratisan.
Kalaupun ia bersedih, maka bersedihnya karena kasihan terhadap orang yang menghina tersebut sebab nanti di akhirat ia akan bangkrut, bukan bersedih kerena diri yang dihinakan. Hal ini terjadi karena jauhnya jarak tempuh pemikiran mereka menembus batas-batas dunia.
Seterusnya, mindset kaum sufi dalam menjalani kehidupan ini adalah bermu’amalah kepada Allah dengan mu’amalah bagaikan seorang hamba terhadap tuannya. Bukan mua’malah macam seorang pembeli terhadap penjualnya.
Seorang sufi sejati dalam beribadah kepada Allah Swt, ia lakukan sebagai bentuk pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya bukan sebagai bentuk pembelian yang harus ada barang yang didapatnya.
Dalam beribadah baik berbentuk ucapan, nasihat dan perbuatan, ia lakukan murni sebagai sebuah amanah dan sebagai sebuah bentuk kejujuran yang mesti disampaikan sebagaimana dengan apa yang diperintahkan oleh Tuhannya.
Sehingga kalau kita teliti, ucapannya murni karena Allah, bukan ucapan, ceramah atau pengajian yang ujung-ujungnya membuat jamaahnya yang awam berkesimpulan kalau dirinya adalah waliyullah, ujung-ujungnya membuat jamaahnya berkesimpulan kalau dirinya adalah orang shalih dan ujung-ujungnya membuat jamaahnya berkesimpulan kalau dirinya adalah satu-satunya syekh Mursyid yang berhak berbicara tentang ilmu tauhid dan tasawuf. Sementara orang lain tidak berhak.
Terakhir, mindset kaum sufi dalam menjalani hidup ini adalah menjadikan alam sebagai sarana untuk lebih makrifat kepada Allah Swt.
Bedakanlah antara “lebih makrifah” dengan “untuk makrifah”. Karena tidak jarang seorang sufi lebih dulu makrifah kepada Allah sebelum mengenal makhluk. Perhatikanlah benda-benda di kamar gelap jadi terlihat karena adanya cahaya. Cahaya itukah yang menyebabkan terlihat dan terbuktinya adanya benda atau benda itukah yang menunjukkan adanya cahaya?
Bagi seorang sufi, makrifat kepada Allah bukanlah sekedar ucapan kata dan perbuatan tingkah laku belaka. Tetapi ia adalah urusan rasa dan pikir yang kemudian menjelma dan bermanifestasi dalam ucapan dan perbuatan.
Itulah di antara mindset kaum sufistik dalam menjalani kehidupan di alam ini dalam konteks keberagaman.
Simpulan
Kalau disimpulkan sebagai berikut :
1. Menjadikan Alam semesta adalah sebagai sarana agar lebih makrifah kepada Allah.
2. Hal di atas menghasilkan mu’amalah dengan Allah selayaknya mu’amalah seorang hamba terhadap tuannya.
3. Hal di atas menghasilkan jauhnya pandangan mereka menembus batas-batas alam dunia menuju alam akhirat dan bahkan sampai kepada Allah Swt.
4. Sampai kepada Allah yang dimaksud tentu sampai dalam keadaan diridhaiNya. Dan hal itu tidak dapat dicapai kecuali dengan menyinergikan syariat dan hakikat, dzahir dan bathin.
*) Penulis adalah Pengajar di Pondok Pesantren NU Asy-Syafi’iyah Alabio.
Baca Juga: Antara Sufi dengan Ahli Fikih, Antara Rasa dengan Logika
makasih muallim ilmunya