Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad, Penghulu Para Ahli Ibadah
Selain dikenal dengan gelar Zainal Abidin yang bermakna perhiasan indah para ahli ibadah, gelar As Sajjad juga disematkan pada Imam Ali bin Imam Al Husein ini, maknanya adalah pria yang teramat banyak bersujud. Tentu saja, ini bukan gelar kosong. Dia memang imamnya para ahli ibadah.
Oleh: Khairullah Zain
Suatu kali, ketika keluar dari masjid, seorang pria mencelanya dengan celaan yang kasar dan tajam. Para pelayannya sampai merasa panas dan dengan sigap membelanya. Namun dengan tenang dia meminta orang-orang yang ingin membelanya agar menahan diri.
Didekatinya pria yang mencelanya. “Rahasia kami yang tidak kamu ketahui jauh lebih banyak lagi,” ujarnya ramah. “Apakah anda punya keperluan yang bisa kami bantu?”
Sejurus, dia melepaskan gamis yang dipakainya, diberikannya kepada pria yang telah mencelanya tersebut. Diperintahkannya pelayannya agar memberikan uang lebih dari seribu dirham kepada pria itu. “Aku bersaksi, kau memang benar-benar cucu Rasulullah,” puji pria yang sebelumnya telah mencela dengan celaan luar biasa itu. Tentu saja, dengan rasa malu yang juga luar biasa.
Siapakah manusia berakhlak mulia ini?
Dia adalah Al Imam Ali bin Al Imam Husein bin Al Imam Ali bin Abi Thalib. Neneknya adalah wanita mulia, pemuka ahli surga, Sayyidah Fathimah Az Zahra, puteri kinasih Sayyidina Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaih wa aalih wa sallam.
Kelahiran Imam Ali Zainal Abidin
Imam Ali bin Imam Husein dilahirkan pada tahun 38 –atau riwayat lain 33- Hijriah. Ibunya adalah seorang puteri bangsawan yang ditawan umat Islam ketika berperang dengan Persia.
Diceritakan Az Zamakhsyari dalam Rabi’ al Abrar bahwa ketika umat Islam jaman pemerintahan Khalifah Umar bin Al Khattab mengalahkan pasukan Persia dan menawan tiga orang puteri, Khalifah ingin menawarkan tawanan tersebut ke publik. Namun Sayyidina Ali tidak setuju, karena tidak layak tawanan dari kalangan puteri bangsawan disamakan dengan rakyat biasa.
Oleh Sayyidina ‘Ali tawanan tersebut dibelinya, dan dihadiahkannya kepada tiga tokoh pemuda Madinah, yaitu seorang untuk puteranya Al Husein, seorang dihadiahkan kepada Abdullah bin ‘Abbas dan seorang lagi kepada Muhammad bin Abu Bakr. Dari puteri bangsawan Persia inilah Imam Ali Zainal Abidin dilahirkan.
Gelar Selain Zainal Abidin
Selain dikenal dengan gelar Zainal Abidin yang bermakna perhiasan indah para ahli ibadah, gelar As Sajjad juga disematkan pada Imam Ali bin Imam Al Husein ini, maknanya adalah pria yang teramat banyak bersujud. Tentu saja, ini bukan gelar kosong. Imam Ali memang imamnya para ahli ibadah. Sepanjang hidupnya senantiasa diisi dengan ibadah. Shalat sunnah seribu rakaat setiap hari, tidak pernah meninggalkan Shalat Tahajjud dalam kondisi apapun, cukup sebagai bukti bahwa ia benar-benar layak mendapat gelar As Sajjad.
Sejatinya, gelar ‘Zainal Abidin’ telah dinubuwatkan oleh datuknya, Rasulullah shallallahu ‘alaih wa aalih wa sallam. Suatu kali, ketika Sayyidina Husein yang saat itu masih kecil sedang bermain-main di pangkuan Nabi, beliau bersabda kepada Sayyidina Jabir yang ketika itu di hadapan Nabi, “Wahai Jabir, dia akan punya anak bernama Ali. Kelak di hari kiamat ada panggilan ‘Penghulu para ahli ibadah hendaknya berdiri’, maka anaknya ini pun berdiri”.
Imam Ali Zainal Abidin seorang pria yang sangat khusyu. Setiap kali berwudhu sebelum shalat, mukanya memucat. Pernah ada yang menanyakan hal ini, dijawabnya, “Tahukah kamu, aku akan berdiri di hadapan siapa?”.
Pemahaman makrifat yang mendalam tentang keagungan Allah, membuatnya senantiasa merasa takut sekaligus rindu berhadapan dengan Tuhannya.
Akhlak dan Kepedulian Sosial Imam Ali Zainal Abidin
Sebagian manusia, ada yang suka beribadah namun kepedulian sosialnya rendah. Ada pula yang sebaliknya, kepedulian sosialnya tinggi namun ibadahnya terbatas pada melaksanakan kewajiban saja. Namun, tidak dengan Imam Ali Zainal Abidin. Ibadahnya tidak tertandingi, kepedulian sosialnya pun sangat tinggi.
Ibn Ishaq menceritakan, tidak sedikit penduduk Madinah yang kebutuhan hidupnya terpenuhi tanpa tahu siapa yang memberi. Iya, itu karena setiap malam Imam Ali Zainal Abidin berkeliling membagikan kebutuhan pokok ke rumah-rumah penduduk. Beliau sendiri yang membawa dan membagikan, tanpa dibantu orang lain, sehingga menjadi rahasia selama hidupnya. Setelah Imam Ali Zainal Abidin wafat dan orang-orang fakir tidak lagi menerima bantuan, barulah mereka sadar bahwa selama ini cucu Rasulullah itulah yang menanggung kebutuhan hidup mereka.
“Sedekah secara rahasia memadamkan kemarahan Tuhan,” amaliah yang menjadi pegangannya. Setelah wafatnya baru diketahui beliau menanggung kebutuhan hidup sedikitnya seratus Ahlul Bait Nabi, belum lagi dari kalangan kaum muslimin lainnya.
Keagungan budi, keluhuran akhlak, kemuliaan nasab, keluasan ilmu, dan kedalaman makrifat, semuanya terhimpun pada Imam As-Sajjad ini.
Dia adalah sosok yang ketika memberi piutang tidak pernah menagih, yang bila menyewakan sesuatu tidak minta kembalikan, yang bila berjanji tidak makan dan minum kecuali setelah menunaikan janjinya, yang bila tidak berhasil membantu orang lain memenuhi kebutuhannya mengeluarkan harta pribadi untuk menolongnya, yang tidak pernah memukul hewan tunggangannya meski dalam kondisi terdesak.
Keilmuan Imam Ali Zainal Abidin.
Tentu saja tidak lengkap bila kita membicarakan akhlaknya saja, tanpa mengetahui bagaimana pandangan ulama menilai keilmuannya.
Imam Az Zuhri, seorang ulama hadits yang sangat cerdas, terkenal dengan rekornya –sebagaimana diungkapkan Adz Dzahabi- menghapal seluruh Al Qur’an hanya dalam jangka waktu 8 hari, mengatakan, “Aku tidak menemukan di Madinah orang yang lebih utama dari Ali”.
Karena itulah, Imam Az Zuhri mengambil hadits-hadits kepada Imam Ali Zainal Abidin. Sehingga, ahli hadits terkenal, Abu Bakr bin Abi Syaibah mengatakan, “Sanad yang paling shahih seluruhnya dari Az Zuhri yang meriwayatkan dari (Imam) Ali bin Husein dari ayahnya (Imam Husein) dari (Imam) Ali bin Abi Thalib”.
Ketika sebagian orang mengaku mencintai Ahlul Bait Nabi sembari mencela beberapa sahabat utama Rasulullah, Imam Ali Zainal Abidin justeru memuji Sayyidina Abu Bakr, Sayyidina Umar, dan Sayyidina Utsman, radhiyallahu anhum.
Beliau tidak mau ikut terlibat dalam konflik politik antar sesama umat Rasulullah.
Meski dia adalah cucu Rasulullah shallallahu ‘alaih wa aalih wa sallam, namun ia tidak hanya berguru dan mengambil hadits terbatas pada ayahnya, pamannya dan lingkungan keluarganya saja. Imam Ali Zainal Abidin juga meriwayatkannya hadits dari para sahabat Nabi yang ditemuinya. Beliau meriwayatkan dari Sayyidina Jabir, Sayyidina Ibn Abbas, Sayyidina Al Musawwir bin Makhramah, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidatina Shafiyyah, Sayyidatina Aisyah, dan Sayyidatina Ummu Salamah –semoga Allah meridhai mereka semua-.
Ini menunjukkan kerendahan hatinya, mau berguru kepada siapa saja tanpa memandang bahwa dirinya berasal dari nasab mulia, berada di lingkungan keluarga mulia, yaitu Ahlul Bait Rasulullah shallallahu ‘alaih wa aalih wa sallam.
Imam Ali Zainal Abidin Wafat.
Imam Ali Zainal Abidin wafat pada 18 Muharram 94 Hijriyah. Beliau dimakamkan di Baqi’ berdampingan dengan pamannya, Sayyidina Hasan radhiyallahu ‘anh. Dahulu, sebelum kubah-kubah dihancurkan, makamnya berada dalam kubah Sayyidina Al Abbas. Meninggalkan sebelas orang putra dan empat orang puteri. Seorang putranya yang bernama Muhammad, kelak dikenal sebagai imam besar dengan gelar Al Baqir. Insya Allah, pada tulisan berikutnya akan kita ceritakan manaqibnya. Insya Allah.
Baca: Manaqib Imam Muhammad Al Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin.
* Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di www.al-zahra.co
Baca Manaqib Lainnya: Syeikhah Sulthonoh, Wanita Sufi dari Hadhramaut.